Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif
Insists, Adnin Armas dalam Bedah Jurnal Islamia di Masjid Darussalam
Depok, Ahad lalu (2/12). Dalam acara itu Adnin juga menegaskan bahwa
peradaban diukur dengan sejauh mana penggunaan akal dan akhlak yang
tinggi. Dari sinilah nampak jelas bahwa Islam mempunyai peradaban yang
tinggi dibanding Hindu dan Budha yang di Indonesia dibangga-banggakan
karena meninggalkan Candi Borobudur dan Prambanan.
“Peninggalan-peninggalan
Islam lebih tinggi tingkat peradabannya, dengan mewariskan bahasa
Melayu yang digunakan sedikitnya 300 juta orang di seluruh kawasan
Melayu ini dan juga meninggalkan kitab-kitab yang bermutu karya
ulama-ulama Islam yang ditulis dalam bahasa Jawi, selain bahasa
Arab,”terangnya. Adnin menyebut diantaranya adalah karya-karya Hamzah
Fanshuri, Yusuf al Makassari, Nuruddin ar Raniri dan lain-lain.
Warisan-warisan Islam yang berharga itu
sengaja ditutup-tutupi dan yang dibesar-besarkan adalah warisan Candi
Hindu dan Budha oleh orientalis-orientalis Belanda. “Borobudur itu kan
sudah lama terkubur, tapi sengaja dipugar dan direnovasi oleh orientalis
Belanda (Raffles). Anda bisa baca dalam Jurnal Islamia ini,”paparnya.
Masyarakat di sekitar pembangunan Candi itu malahan tidak senang bahkan
sebagian melarikan diri karena pembangunan Candi itu. “Terutama
masyarakat kasta bawah dari kalangan Paria atau Sudra yang dieksploitasi
atau menjadi korban dari pembangunan Candi itu,”tegas Adnin Armas,
Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.
Sebenarnya
agama-agama selain Islam, hanya untuk masyarakat setempat atau tersebar
di masyarakat setempat. Misalnya Hindu untuk India, Budha untuk
Cina, Budha untuk Jepang dan seterusnya. Maka bila dikatakan bahwa
Sriwijaya kekuasaannya sangat luas dan mengakar di Sumatera,
kenyataannya tidak. Agama Budha hampir tidak ada bekasnya di Sumatera,
bahkan seluruh Sumatera sejak dulu diwarnai Islam. “Karena agama Budha
dan Hindu bukan agama misi. Yakni mereka tidak punya semangat untuk
mengkonversi kepercayaan orang lain. Sehingga agama mereka tidak
mengakar atau tersebar luas ke seluruh Nusantara atau dunia. Tapi
orientalis Belanda sengaja menjelekkan Islam dengan menganggap Islam di
Nusantara ini laksana ‘pelitur’ (cat) dalam kayu. Apabila pelitur ini
dikorek sedikit saja, maka akan hilang,”terangnya.
Mengutip
Profesor Alatas, Adnin menyatakan bahwa para sarjana Belanda, para
orientalis selalu mengatakan bahwa puncak peradaban Nusantara/Melayu ada
pada Hindu dan Budha dan ukuran kejayaan peradaban adalah candi, patung atau seni. Hal itulah yang selalu diajarkan oeh para orientalis (dan kini juga di sekolah-sekolah), sehingga banyak murid yang terpengaruh. Masyarakat
Yunani tidak dikatakan maju, meski maju seninya sebelum adanya Plato,
atau Persia yang terkenal dengan seninya sebelum kedatangan Islam.
Seperti
juga apakah bangunan Piramid yang dibangun Firaun dikatakan ‘simbol’
peradaban yang tinggi? Justru malah sebaliknya, bangunan itu menunjukkan
peradaban yang rendah, karena banyaknya korban rakyat kecil akibat
pembangunan Piramid itu. “Maka peradaban tidak hanya dilihat pada segi lahirnya, tapi juga pada ‘batinnya’,”papar Adnin.
Maka
untuk mengukur peradaban tidak hanya pada bangunan seni, tapi juga pada
bahasa yang digunakan, perkembangan pemikiran dan pandangan hidup
masyarakat. Karya-karya yang ditulis tentu lebih tinggi nilai
peradabannya dan juga perubahan masyarakat dari animisme, tidak mengenal
Tuhan menjadi bertauhid, mengenal Tuhan tentu lebih unggul
peradabannya.
Selain itu,
mengutip Jurnal Islamia, Adnin menyatakan bahwa pendapat orientalis yang
menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa pedagang Gujarat juga
tidak tepat. “Islam datang ke Nusantara langsung dibawa oleh para
ulama-ulama dari Timur Tengah. Para Dai itu memang punya niatan untuk
mendakwahkan Islam ini ke sini. Mungkin saja kemudian ada pedagang
Gujarat yang menyebarkan atau para dai itu berdakwah sambil
berdagang,”terangnya. Untuk lebih jelasnya ia menyarankan para peserta
untuk membaca Jurnal Islamia yang bertajuk : Pembebasan Nusantara,
Antara Islamisasi dan Kolonialisasi.* (insist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar