BAGIAN I.
HUKUMAN BAGI MURTADIN DITINJAU DARI SUDUT CAHAYA AL-QUR’AN
Pertanyaan seperti ini telah mengangkat tentang hukuman bagi murtadin dalam ajaran Islam, seperti pertanyaan lain yang berhubungan dengan Islam, perlu dijawab secara jelas mengacu pada Al-Qur`an dan hadits yang otentik.
Saya ulangi prinsip yang sudah dikenal ini karena banyak warga Muslim, bahkan ulama sering dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan aneh dalam memunculkan pendapat mereka.
Beberapa orang menolak adanya hukuman mati bagi kemurtadan atas dasar keinginan untuk “mengangkat” citra Islam di kalangan non-Muslim.
Yang lainnya, bersikeras bahwa hukuman itu muncul dari keprihatinan bahwa penolakan terhadap adanya hukuman bagi murtadin akan mendorong munculnya kemurtadan.
Ada juga beberapa yang dipengaruhi oleh kecenderungan untuk tetap berpegang pada pandangan hadits dan tidak peduli terhadap keberatan apapun.
Pada titik tertentu hukuman mati untuk murtadin diterima secara luas di kalangan umat Islam dan banyak dari kita merasa bahwa apa yang diterima dari generasi sebelumnya kita pasti benar dan harus diterima oleh kita semua.
Karena pengaruh asing seperti itu dapat menyesatkan kita, maka marilah kita pertama kali mencoba untuk membebaskan pikiran kita dari mereka.
Keinginan untuk “mengangkat” citra Islam di kalangan non-Muslim
Sebagian besar pencitraan negatif tentang Islam dilakukan oleh minoritas yang relatif kecil dari Kristen dan Yahudi dan para penulis dan wartawan yang berada di bawah kekuasaan mereka. Orang-orang ini tidak akan berhenti begitu saja jika kita menolak adanya hukuman mati bagi murtadin. Mereka terus akan berusaha menemukan sesuatu yang lain untuk menggambarkan Islam secara negatif. Satu-satunya cara agar mereka berhenti adalah jika tantangan Islam dihapuskan dan Muslim mulai bersikap seperti mereka. Al-Qur`an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen tersebut ketika berkata:
Baik Yahudi maupun Kristen akan senang dengan kamu (hai Muhammad) sampai kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk (yang benar)”. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah apa yang telah datang kepadamu berupa pengetahuan, maka kamu tidak akan memiliki pelindung atau penolong melawan Allah. (2:120)
Di sini kata “orang-orang Yahudi dan Kristen” tidak berarti “semua orang Yahudi dan Kristen”, karena di tempat lain dikatakan “mereka semua tidak sama” (3:113). Yang dimaksud pada ayat di atas adalah bahwa beberapa atau banyak orang Yahudi dan Kristen yang tidak akan senang dengan kamu sampai kamu menjadi seperti mereka. Hal ini juga relevan untuk dicatat bahwa Al- Qur`an memberitahu kita bahwa kita akan menerima banyak pembicaraan yang negatif, menyakitkan dari beberapa orang Yahudi, Kristen, dan non-Muslim:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.. (3:186)
Akibatnya, marilah kita tidak berpikir tentang menolak atau menerima sesuatu sebagai ajaran Islam hanya sekedar untuk “meningkatkan” citra Islam di kalangan non-Muslim. Islam seperti yang diajarkan oleh Allah dan Rasul adalah indah dan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan citra Islam adalah memahami dengan benar dan menyatakannya kembali dengan penuh keyakinan.
Kekhawatiran bahwa menjauhi hukuman mati bisa mendorong pada kemurtadan
Sikap pandangan menolak hukuman mati untuk murtadin ini seperti bersikap lunak kepada kemurtadan. Tetapi pandangan ini mengabaikan prinsip bahwa Allah, yang mengetahui segala sesuatu di langit dan bumi, dan Rasul-Nya yang dipandu oleh Dia, mengetahui cara yang terbaik untuk melindungi Islam dan umat Islam. Dalam Al-Qur’an Suci Allah memberitahu Nabi untuk mengatakan:
“Apakah kamu memberitahu Allah apa yang Dia tidak tahu di langit dan bumi?” (10:18, lihat juga 13:22).
Dalam konteknya kata-kata ini ditujukan kepada orang-orang kafir yang menyembah beberapa makhluk selain Allah dengan harapan bahwa mereka akan bertindak sebagai pemberi syafaat di hadapan Allah. Tapi kata-kata yang jelas tersebut juga berlaku setiap kali kita mencoba untuk mengabaikan apa yang telah Allah turunkan dan mulai membuat aturan Islam atas dasar beberapa pertimbangan lain, bahkan jika hal itu demi “kebaikan” Islam dan Muslim.
Tetapi apakah hukuman mati untuk murtadin benar-benar “baik” bagi Islam dan umat Islam? Apakah hal itu bisa mencegah kemurtadan? Hukuman mati memang dapat mencegah beberapa orang dari kemurtadan, namun pada sisi lain juga akan mendorong kemunafikan. Dan apakah benar-benar lebih baik memiliki banyak orang-orang munafik di kalangan umat Islam daripada memiliki banyak murtadin?
Muslim pada umumnya tidak meninggalkan agama mereka. Akhir-akhir ini jumlah Muslim yang pindah ke Kristen telah meningkat tetapi itu adalah karena:
a) Kristen memiliki kekuasaan dan kekayaan yang bias mereka gunakan dalam usaha misionaris yang sangat agresif,
b) muslim telah jatuh ke dalam kebodohan dan kemiskinan karena kepemimpinan yang tidak efektif dari `umara`dan ulama` kita.
Konsekensinya, cara terbaik untuk mengurangi kemurtadan adalah dengan meningkatkan pengetahuan Islam dan memerangi kemiskinan, kebodohan dan masalah lain yang mengganggu dunia Muslim.
Kecenderungan untuk tetap dengan pandangan hadits
Jika beberapa Muslim tetap bersikeras pada adanya hukuman mati tanpa peduli mencegah kemurtadan, sementara yang lain melakukannya hanya karena kecenderungan untuk berpegang teguh pada pandangan tradisional tidak peduli betapa banyaknya bukti yang bertentangan dengannya. Sikap ini tidak Qur’ani karena Kitabullah menyatakan:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (2:170)
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (5:104, lihat juga 43:23-24)
Kecenderungan untuk mengikuti tanpa memikirkan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh generasi sebelumnya adalah hal yang sama yang menyesatkan banyak orang-orang Yahudi dan Kristen, seperti yang kita pelajari dari ayat berikut ini:
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (5:77)
Memang benar bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada non-Muslim, tetapi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sikap yang dikutuk di sini tidak dapat ditemukan di kalangan umat Islam. Setiap kesalahan yang dilakukan oleh non-Muslim dapat juga dilakukan oleh beberapa Muslim juga dan karena itu apa yang Al-Qur’an nyatakan kepada non-Muslim juga merupakan ibroh bagi kita.
Oleh karena itu marilah kita tidak terlalu dipengaruhi oleh fakta bahwa hukuman mati untuk murtadin telah dianggap Islami oleh mayoritas muslim pada beberapa generasi Muslim sebelumnya. Marilah kita periksa bukti Al-Qur’an dan hadis otentik dan kemudian mendapatkan keputusan yang tepat. Beberapa orang akan mengatakan bahwa umat Islam generasi sebelumnya juga mencapai keputusan mereka berdasarkan Al-Qur’an dan hadits otentik. Hal ini adalah benar jika mayoritas dari generasi sebelumnya tidak mungkin salah, yang justru merupakan sikap di mana Al-Qur’an mengutuknya sebagaimana ayat di atas.
Jika kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadits otentik setelah membebaskan diri dari pengaruh asing dari jenis yang telah saya sebutkan di atas, situasi akan menjadi jelas bahwa: tidak ada hukuman bagi orang yang murtad dari Islam, baik berupa hukum mati atau yang lain. Al-Qur’an dan hadits otentik mengajarkan kita untuk memperlakukan murtadin seperti kuffar lainnya, yang perlakuannya bervariasi mulai dari diberi kebaikan hingga dibunuh tergantung pada keadaan dan pada tingkat permusuhan yang mereka tunjukkan kepada Islam dan Muslimin. Insya Allah saya akan menyajikan bukti bagi kesimpulan ini dalam dua bagian. Pada bagian pertama ini, saya insya allah akan menunjukkan bahwa hukuman mati atau hukuman lainnya bagi murtadin adalah bertentangan dengan Al-Qur’an. Dan pada bagian kedua saya memeriksa hadits tentang kemurtadan dan menunjukkan dengan seizin Allah bahwa Ahadis yang menetapkan hukuman mati tidak datang dari mulut Nabiullah tercinta kita (semoga Tuhan memberkati dan menghormatinya selamanya).
APAKAH MURTAD ITU?
Sebelum membahas pertanyaan tentang hukuman murtadin, ada baiknya untuk mendefinisikan apa murtad itu.
Seseorang melakukan kemurtadan (irtidad) atau menjadi murtad (murtadd) jika ia menggambarkan dirinya seorang Muslim dan kemudian di lain waktu menjadi salah satu dari tindakan berikut di tengah masyarakat umum:
1) Berpindah ke agama lain, misalnya menjadi seorang Kristen atau Buddha atau Baha`i dll
2) Menolak bagian dari Al-Qur’an setelah mengakuinnya menjadi bagian dari Al-Qur’an. Sebagai contoh, semua “Muslim” yang menentang Syariat berbasis arbitrase (hakam penengah) dalam perselisihan keluarga dan bisnis di Ontario [1] telah menjadi murtad jika mereka tahu benar bahwa sebagian besar dari mereka menentang Syariat yang didasarkan pada Al-Qur’an. Semoga Allah membimbing mereka kembali kepada Islam.
3) Dalam beberapa kasus ketika seluruh umat setuju bahwa interpretasi tertentu dari beberapa ayat Al-Qur’an atau ahadis tidak dapat diterima, maka orang yang memegang penafsiran seperti itu mungkin dianggap menjadi murtad oleh keputusan ummat. Sebagai contoh, Ahmadiyah menuntut agar disebul Muslim dan mereka memang mengakui dan banyak mempraktekkan ajaran Islam seperti kebanyakan Muslim Sunni. Tetapi mereka percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad dari Qadiyan di India bekas jajahan Inggris adalah seorang Nabi dan dalam rangka mempersiapkan ruang bagi kepercayaannya mereka menafsirkan khatm nubuwwah dengan cara yang berbeda dari umat Islam lainnya. Ummat telah menolak interpretasi mereka atas khatm nubuwwah dan klaim Mirza yang untuk ini penafsiran ini dibuat. Umat juga telah menyatakan kelompok ini sebagai non-Muslim dan melarang mereka masuk ke Mekah. Akhirnya, kepalsuan klaim Mirza telah dibuktikan oleh sejarah [2]. Konsekuensinya, semua yang berpindah dari Islam ke paham Ahmadiah adalah dianggap murtad.
Biasanya, bagaimanapun, memiliki penafsiran dari beberapa ayat Al-Qur’an atau Hadis yang berbeda dengan umat Islam lainnya tidak mengakibatkan kemurtadan. Sebagai contoh, jika orang yang menolak arbitrase berbasis Syariah di Ontario mengatakan bahwa aturan secara Syariat yang ditafsirkan dan diterapkan adalah tidak taat kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya dan berpendapat untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang memperbaiki penafsiran dan penerapannya sebelum memakai arbitrase berbasis syariah, maka mereka dalam hal ini tidak melakukan kemurtadan. Tetapi mereka menentang syariah sedemikian rupa dan oleh karena itu mereka harus dianggap.murtad.
Orang yang murtad berbeda dengan seseorang yang munafik (munafiq). Munafik adalah orang yang secara lahiriah bersedia untuk mengatakan/ melakukan apa Muslim katakan/ lakukan tetapi di dalam hatinya telah memutuskan untuk tidak percaya pada Islam. Seseorang yang murtad, sebaliknya, adalah seseorang yang secara terbuka dan dengan sengaja melakukan atau mengatakan sesuatu yang menjadikan dia non-muslim setelah dia menyebut dirinya seorang Muslim.
Perlu juga ditunjukkan bahwa kita harus membedakan kemurtadan dari keadaan kufur yang dialami banyak Muslim yang mungkin secara pribadi mereka lalui selama proses pertumbuhan mereka menuju keadaan beriman. Dalam kebanyakan keluarga Muslim kita mempunyai beberapa anggota yang mengungkapkan ketidakpercayaanya kepada keberadaan Allah atau tentang wahyu Ilahi atau tentang akhirat. Muslim biasanya telah memberikan toleransi secara bijaksana dan benar kepada ketidakpercayaan seperti ini karena mereka mengakui bahwa jalan menuju iman itu tidak selalu mulus dan mungkin melalui tahapan keraguan dan kebingungan (baca Al-Qur’an ayat 6:76-79, 93:7). Namun, jika seorang Muslim menyatakan ketidakpercayaannya dalam bentuk posisi menyatakan dan menegaskan secara publik, maka ia akan dianggap murtad.
DI AL-QUR’AN TIDAK ADA HUKUMAN KARENA MURTAD
Ini adalah fakta penting bahwa Kitab Allah tidak menetapkan adanya hukuman bagi si murtad. Banyak Muslim dengan segera akan berkata, Al-Qur’an tidak memberitahu kita segalanya. Kita harus mencari Hadits untuk menemukan panduan mengenai hal-hal yang tidak tersentuh oleh Al-Qur’an. Tetapi katakanlah ini adalah benar dalam kaitannya dengan detail, namun hal ini tidak benar sebagai isu yang mendasar. Allah maha tahu bahwa sementara Al-Qur’an akan tetap terjaga, namun keaslian suatu hadits akan tetap dikenakan keraguan dalam banyak kasus. Karena itu, Ia akan memastikan bahwa semua ajaran dasar akan dimasukkan ke dalam Al-Qur’an sambil membiarkan beberapa detailnya di dalam Ahadis sedemikian rupa sehingga ukuran teks Qur’anic tetap terkelola untuk dihafalkan/ diingat. Dengan melihat dengan cara seperti ini maka tidakadanya dalam Al-Qur’an tentang hukuman apapun kepada kemurtadan menjadi sesuatu yang sangat signifikan.
Hukuman untuk murtadin bukanlah sesuatu yang detail di mana kita dapat mengharapkan kepada Allah untuk meninggalkannya di dalam ahadis, terutama jika hukuman itu adalah kematian, karena mengambil nyawa seseorang, jika dilakukan tanpa alasan yang benar, dianggap oleh Al-Qur’an sebagai sama saja dengan membunuh semua manusia (5:32). Bahkan hukuman yang lebih ringan untuk pencurian (pemotongan tangan, 5:38), hubungan seksual terlarang (100 cambukan, 24:2), dan tuduhan tanpa alasan dalam perzinahan (80 cambukan, 24,4) tidak dianggap oleh Allah sebagai hal detail yang cukup ditinggalkan di ahadits. Oleh karena itu tidak ada alasan mengapa Allah akan menganggap sanksi yang lebih berat berupa kematian untuk dosa yang lebih serius berupa kemurtadan sebagai masalah detail yang akan diserahkan kepada hadits.
Penting untuk dikemukakan bahwa Al-Qur’an menyebut kemurtadan beberapa kali (Q 2:217, 3:86-90, 4:137, 9:66, 9:74, 16:106-109, 4:88-91, 47 :25-27), namun tidak menetapkan adanya hukuman apapun untuk itu. Seandainya Al-Qur’an tidak menyebutkan kemurtadan sama sekali, mungkin kita bisa berpendapat bahwa tidak ada kesempatan bagi wahyu Qur’ani untuk menangani hal ini dan karena itu diserahkan kepada Nabi saw untuk menanganinya. Mungkin juga perlu dicatat bahwa hampir semua ayat yang menunjuk pada kemurtadan ditemukan dalam Al Quran yang dikatakan turun di periode Madinah ketika negara Islam telah didirikan dan hukuman untuk kejahatan bisa ditentukan dan diterapkan. Hanya ayat 16:106-109 yang muncul dalam surat yang diidentifikasi sebagai Makiah.
Dengan demikian kesimpulan alamiah dapat ditarik bahwa tidak adanya sanksi hukum bagi kemurtadan di Al-Qur’an bermakna bahwa Allah tidak pernah bermaksud hukuman tersebut menjadi bagian dari Syari’at Islam.
HUKUMAN MATI UNTUK KEMURTADAN BERTENTANGAN DENGAN AL-QUR’AN
Bukti yang melawan kepada adanya hukuman bagi murtadin dalam Islam tidak hanya bersandar pada kenyataan bahwa Al-Qur’an tidak pernah menetapkan hukuman seperti itu ketika menyebut secara berkali-kali subjek kemurtadan. Kita lebih jauh bisa menyatakan bahwa:
a) Tidak ada hukuman mati yang diwajibkan di Al-Qur’an untuk setiap kasus kriminal.
b) Hukuman mati bagi murtadin pada kenyataannya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Kebenaran dari pernyataan di atas dapat dilihat dengan memeriksa ayat-ayat: 5:32-33, 45, 2:178 dan 4:88-91.
Al-Qur’an 5:32-33, 45, 2:178
Pada ayat 5:32, setelah mengaitkan dengan kisah pembunuhan Habil oleh saudaranya Qabil, Allah berkata:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (5:32)
Dalam konteks penekanan kepada melestarikan kehidupan masing-masing dan setiap individu ayat di atas hanya menyebutkan dua kejahatan yang seseorang bisa dibunuh, yaitu:
1) Membunuh manusia lain;
2) Membuat kerusakan (fasad) di muka bumi.
Di tempat lain Al-Qur’an menyebutkan kejahatan lainnya dimana hukuman mati dipertimbangkan. Ada, tentu saja, ayat-ayat yang menyebutkan bolehnya/ suruhan membunuh selama perang di jalan Allah. Tetapi itu berbeda dengan pembunuhan sebagai hukuman untuk kejahatan seseorang. Selain itu, dalam pemahaman yang Qur’ani tujuan dari membunuh – bahkan termasuk membunuh dalam peperangan- adalah untuk menghentikan atau menghukum kejahatan yang serupa dengan dua alasan yang disebutkan dalam ayat di atas – yaitu, kekerasan dan kerusakan – jika dilakukan dengan cara yang terorganisir oleh sebuah sekelompok orang atau bangsa ( (Q 2:191-193, 2:217, 4:88-91, 49:9 dll)).
Oleh karena itu dua kejahatan yang disebutkan di atas membuang semua kasus yang mungkin di mana Al-Qur’an mempertimbangkan perlunya hukuman mati [3]. Dan dalam kedua kasus ini, hukuman mati tidak wajib menurut Al-Qur’an.
Dalam kasus membuat kerusakan di muka bumi, Al-Qur’an mengatakan dalam ayat berikutnya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya [4] dan membuat kerusakan di muka bumi [5], hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (5:33)
Tidak dijelaskan bahwa hukuman mati wajib di sini. Bahkan ketika orang memerangi Allah dan Rasul-Nya sambil membuat kerusakan di muka bumi, hukuman mati hanyalah salah satu dari beberapa alternatif hukuman, di mana yang paling ringan adalah hukuman pembuangan/ pengasingan. Jika terhadap kasus seberat memerangi Allah dan Rasul-Nya dan secara aktif membuat kerusakan di muka bumi tidak wajib dihukum mati, maka adalah wajar jika kita mempertanyakan adanya hukuman mati yang dikenakan kepada murtadin yang terus menerus menjalani kehidupan yang damai setelah dosa kemurtadannya yang mana hukuman tersebut sama sekali tidak muncul dalam perspektif yang Qur’ani.
Memang ada pada surat yang sama, al-Ma `Idah, AL-Qur’an mengaitkan dengan kejahatan lain – membunuh manusia lain – yang hukuman mati dapat diterapkan:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim. (zalimun) [6]. (5:45)
Ayat di atas menunjukkan pada apa yang Tuhan perintahkan kepada orang-orang Yahudi melalui Taurat, tetapi dalam ayat berikut Al-Qur’an memberikan hukum yang lebih seimbang bagi kaum muslimin:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.. (2:178)
Sekali lagi, ternyata hukuman mati tidak wajib. Jika keluarga orang yang dibunuh menerima tebusan, hukuman mati dapat dihapus.
Oleh karena itu:
a) tidak ada hukuman mati yang diwajibkan di Al-Qur’an karena kasus kriminal apapun, dan
b) karena Al-Qur`an tidak menetapkan/ mewajibkan adanya hukuman mati bahkan terhadap kejahatan yang lebih serius daripada kemurtadan, maka hukuman mati bagi murtadin tidak memiliki tempat dalam perspektif Al-Qur’an.
Al-Qur’an 4:88-91
Empat ayat, 4:88-91, ketika diperiksa dengan teliti dan hati-hati, juga menunjukkan bahwa perspektif yang Qur’ani juga bertentangan dengan hukuman mati akibat kemurtadan. Dua ayat yang pertama menyatakan:
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan (arkasa) mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, (4:88-89)
Bagian ini dimulai dengan membicarakan tentang orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang menyatakan diri Muslim tapi di dalam hati mereka telah memutuskan untuk tidak percaya kepada ajaran Islam. Permintaan bahwa mereka harus melakukan hijrah fi sabil allah (pindah karena Allah) menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang munafik Madinah tetapi mereka hidup di kalangan non-Muslim di Mekah atau mungkin di tempat lain. Ayat 98 dari surah yang sama menunjukkan bahwa orang-orang ini tidak melakukan hijrah meskipun pada faktanya mereka mampu. Alasan mereka tidak melakukan hijrah adalah karena kemunafikan mereka. Orang kafir Mekah yang telah menganiaya umat Islam selama bertahun-tahun, tidak akan ditoleransi di tengah-tengah kehidupan Muslim sejati. Kafirin Mekah akan lebih menerima orang-orang “Muslim” yang telah berhenti mengambil “Islam” secara serius dan merasa lebih nyaman di kalangan orang-orang yang tidak beriman, memusuhi Islam, dari pada kalangan umat Islam. Orang-orang munafik ini pura-pura menjadi Muslim karena mereka ingin aman dari kedua belah pihak (lihat 4:91). Dan kafirin Mekah tidak memaksa mereka untuk secara terbuka melepaskan “Islam” mereka karena mereka menemukan mereka berguna untuk mengumpulkan informasi tentang Muslim atau untuk beberapa tindakan subversif lainnya terhadap ummat.
Dalam rangka untuk mengalahkan orang-orang munafik dalam permainan mereka dan memaksa mereka untuk secara jelas memilih antara Islam dan kufur, Allah memerintahkan mereka untuk melakukan hijrah. Ketaatan mereka terhadap perintah ini berarti bahwa mereka telah memilih Islam dan ketidaktaatan mereka berarti bahwa mereka telah memilih kufur. Mereka yang memilih kafir dengan cara ini menjadi murtad, karena sebelumnya mereka menyebut diri mereka Muslim. Jadi ayat-ayat tersebut merupakan sumber panduan bagi kita bagaimana cara memperlakukan murtadin.
Pada pandangan pertama kata “tawan mereka dan bunuh mereka di mana saja kamu jumpai” akan menunjukkan bahwa mereka harus dibunuh. Tetapi pandangan ini dengan cepat akan terlihat salah jika kita membaca dua ayat berikutnya:
kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman daripada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (4:90-91).
Ayat-ayat ini menjelaskan tentang perintah “tawan mereka dan bunuh mereka”. Para murtadin yang menolak Islam dengan tidak melakukan hijrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dibagi menjadi tiga kategori:
1) Mereka yang bersekutu dengan kelompok yang dengan mereka Muslimin memiliki perjanjian damai;
2) Mereka yang ingin menjaga netralitas, melakukan sendiri untuk berdamai secara baik dengan Muslim dan kalangan mereka sendiri yang tidak menerima Islam;
3) Mereka yang tidak memberikan jaminan riil adanya perdamaian bagi umat Islam dan adanya indikasi bersekutu dengan non-Muslim terlibat dalam permusuhan terhadap Islam dan Muslim.
Dua jenis murtadin di atas harus dibiarkan hidup dengan damai, sementara yang ketiga akan diperlakukan seperti-orang kafir dalam keadaan perang: mereka harus ditangkap/ ditawan dan dibunuh dimanapun mereka ditemukan. Perhatikan bahwa Al-Qur’an menggunakan kata “Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” dalam kaitannya dengan murtadin dari dua jenis pertama. Ini berarti bahwa Al-Qur’an benar-benar melarang membunuh orang murtad yang ingin hidup damai dengan Muslimin.
Jadi menurut Al-Qur’an, orang-orang yang murtad harus diperlakukan seperti orang-orang kafir lainnya: jika mereka ingin hidup dalam damai dengan kaum muslimin, mereka akan dibiarkan hidup damai dan jika mereka terlihat bersikap bermusuhan, maka mereka harus diperlakukan setimpal (ditawan dan dibunuh) .
Bukti Tambahan
Ada beberapa ayat Al-Qur’an lainnya yang, walaupun tidak sepasti seperti yang dibahas di atas, namun juga mengungkapkan perspektif yang bertentangan dengan hukuman mati bagi murtadin. Dengan demikian Al-Qur’an sangat tegas bahwa kemenangan adalah milik kebenaran. Ia mengatakan:
“Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya kepalsuan itu pasti lenyap “(17:81)
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. .” (21:18)
Di bagian lain AL-Quran memprediksi kemenangan Islam karena ini adalah agama kebenaran:
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (48:28, lihat juga 9:32-33, 61:8-9).
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah didirikan pada keyakinan yang lengkap dalam pemberlakuan dari tiga prinsip berikut:
1. Kebenaran pasti akan menang di atas kepalsuan.
2. Islam didasarkan pada kebenaran.
3. Islam karena itu akan menang.
Dalam perspektif ini Islam tidak membutuhkan penjagaan manusia di bawah ikatan pada sakitnya kematian. Tindakan tersebut hanya pantas bagi sistem yang fondasinya dibangun di atas kepalsuan, karena itu adalah satu-satunya cara bagi para pengikutnya untuk memperlambat agar barisannya tidak kalah dan lenyap. Bagi “agama kebenaran” adalah lebih menguntungkan jika orang bebas untuk menguji semua gagasan dan kemudian memilih agama atau ideologi atau sistem yang mereka inginkan. Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’an menetapkan prinsip yang terkenal sebagai berikut:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (2:256)
Ayat di atas biasanya dipahami dengan makna bahwa orang tidak boleh dipaksa untuk menjadi Muslim, tetapi mereka harus dipaksa untuk tetap menjadi Muslim. Namun kalimat, “tidak ada paksaan dalam ad-Diin” adalah mempunyai pengertian yang sangat umum. Tidak ada paksaan dalam ad-Diin harus berlaku secara sama untuk memeluk atau meninggalkan ad-diin apapun, termasuk Islam. Orang mungkin mencoba untuk membantah terhadap pengertian umum dari ayat tersebut sebagai berikut:
Seseorang tidak dapat dipaksa untuk masuk Islam, tetapi seseorang yang dia telah Muslim adalah tunduk pada hukum Islam dan hukum tersebut adalah kematian bagi mereka yang meninggalkan Islam.
Argumen ini akan memiliki kekuatan hanya jika kita mampu menetapkan bahwa Al-Qur’an mengatur hukuman mati bagi murtadin seperti halnya ketika Allaj menetapkan berbagai jenis hukuman bagi pencurian, zina dll. Tetapi dalam keadaan tidakadanya hukuman bagi murtadin tersebut, maka kita harus mengambil kalimat “tidak ada paksaan dalam ad-Diin” dengan pengertian yang umum dan memahaminya bahwa hal itu dapat diterapkan bagi keduanya, yaitu masuk/ memeluk Islam dan keluar dari Islam [7].
Selain itu, murtad adalah pindah dari islam ke kafir. Tetapi bagaimana kalau kita tidak bisa menetapkan Islamnya seseorang? Sebagai contoh, perhatikan orang yang lahir dalam keluarga Muslim yang pada satu titik menggambarkan dirinya sebagai seorang Muslim sesuai dengan adat, tetapi sebenarnya ia tidak pernah benar-benar percaya pada Islam. Jika ia kemudian meninggalkan Islam, apakah dia benar-benar pindah dari islam kepada kekafiran? Apakah dia benar-benar terikat oleh hukum Islam padahal ia tidak pernah benar-benar membuat pilihan hidup dengan Islam?
Dari keyakinan bahwa pesan dari Al-Qur’an yang didasarkan pada kebenaran dan karena itu akan menang, terdapat juga fitnah yang dikutuk oleh Al-Qur`an, yaitu mengenai “menganiaya orang karena agama mereka”, yang digambarkan sebagai lebih buruk daripada membunuh dalam peperangan:
Dan berperang di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu tetapi janganlah kamu melampaui batas karena … al-fitnah lebih buruk dari membunuh (dalam pertempuran). … Perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan ad-Diin adalah untuk Allah (saja) (2:190-193; lihat juga Q 2:217).
Ayat-ayat di atas adalah tentang pertempuran bahwa non-Muslim yang memerangi Nabi dan para pengikutnya. Pertempuran ini adalah bagian dari fitnah atau penganiayaan terhadap umat Islam, yang bertujuan menekan gerakan Islam. Ayat-ayat di atas memerintahkan kaum muslimin untuk melawan karena fitnah lebih buruk dari pembunuhan dalam peperangan, sehingga mereka harus memilih yang lebih ringan dari dua jenis kejahatan. Pertempuran harus terus dilakukan hingga tidak ada fitnah lagi dan ad-Diin adalah bagi Allah. Kata-kata “ad-Diin adalah bagi Allah (saja)” berhubungan erat dengan “tidak ada lagi fitnah” yang berarti bahwa pilihan beragama merupakan masalah antara seseorang dengan Allah dan tidak ditentukan oleh pemaksaan. Pengertian ini berlawanan dengan beberapa penafsir yang menyatakan bahwa ayat ini berarti, “sampai semua orang menerima Islam”, padahal sudah diketahui umum bahwa Nabi berdamai dengan banyak suku meskipun mereka tidak menerima Islam (lihat misalnya ayat 4:90 yang sudah dibahas sebelumnya) dan karena Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan bahwa ketika lawan dari kaum kafir condong kepada perdamaian, maka Nabi harus melakukan hal yang sama (8:61).
Bahwa hukuman mati bagi kemurtadan bertentangan dengan perspektif Qur’ani yang juga ditunjukkan oleh ayat-ayat di mana menyatakan bahwa Rasul datang bukan sebagai pengawas atas orang-orang tetapi hanya sebagai orang yang secara jelas menyampaikan kebenaran: 5:92 99, 13:40, 16:35, 82, 24:54, 29:18, 36:17, 42:48, 64:12. Secara signifikan, yang pertama dari ayat-ayat ini ditujukan kepada orang beriman, karena setelah secara eksplisit dialamatkan kepada orang-orang yang beriman dan memberikan kepada mereka beberapa hukum (5:90-91) di mana ayat itu mengatakan:
“Dan taat kepada Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah (dan takutlah kepada Tuhan). Kemudian jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa tugas Rasul kami adalah hanya menyampaikan (pesan) secara jelas. (5:92)
Al-Qur’an kemudian melanjutkan – yang dialamatkan kepada orang-orang yang percaya, memberikan peraturan lebih lanjut, dan kemudian mengatakan lagi:
Pada Rosul Kami tidak ada kewajiban melainkan menyampaikan (pesan). Dan Tuhan mengetahui apa yang kamu ungkapkan dan apa yang kamu sembunyikan (5:99)
Pada ayat 5:92 dan 99 Muslim tidak diberitahu bahwa jika kamu berpaling maka hukuman mati menanti kamu, melainkan mereka diberitahu bahwa Rasul telah melakukan tugasnya dengan menyampaikan pesan kepada kamu dan sekarang terserah pada kamu apakah kamu ingin tetap setia kepadanya atau kamu ingin berpaling darinya [8].
Selain dari itu, jika seseorang yang murtad wajib dihukum mati, maka dia tidak akan mempunyai kesempatan kedua untuk beriman dan juga untuk kembali kafir untuk kedua kalinya. Namun justru terdapat ayat Al-Quran yang memberi pilihan manusia untuk kafir lebih dari sekali:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4:137)
Ayat di atas menunjukkan kepada kita bahwa orang yang kafir sesudah beriman (murtad) dapat beriman lagi. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan tidakadanya hukuman mati bagi orang yang murtad mengingat mereka dapat beriman lagi sebagaimana ditunjukkan oleh ayat di atas.
MENGHADAPI KEMURTADAN
Sebagaimana yang dapat dilihat pada uraian di atas bahwa Al-Qur’an mengharapkan kita untuk memperlakukan orang yang murtad seperti orang-orang kafir lainnya. Oleh karena itu panduan yang bersumber pada Al-Qur’an dalam memperlakukan orang yang murtad pada dasarnya sama dengan memperlakukan orang-orang kafir lainnya. Secara singkat, panduan ini menyatakan bahwa kita harus memperlakukan mereka sesuai dengan tingkat persahabatan atau permusuhan mereka kepada Islam dan Muslimin. Untuk menterjemahkan hal ini menjadi pedoman yang lebih spesifik kita bisa membagi murtadin dalam tiga kategori dan melihat bagaimana setiap kategori harus diperlakukan:
1) Murtadin meninggalkan Islam karena ketidaktahuan dia tentang Islam atau mengalami kebingungan yang mendorong dia untuk berpikir bahwa agama atau keyakinan yang baru lebih benar dan lebih baik. Orang seperti ini akan bersedia untuk mendengarkan Muslim jika mereka ingin menunjukkan bahwa ia telah membuat kesalahan. Kaum muslimin harus memperlakukan dia dengan baik dan berdialog dengan dia dengan cara terbaik. (60:8, 16:125). Tapi Muslim harus berhati-hati untuk tidak menunjukkan kepadanya kebaikan lebih dari yang mereka tunjukkan kepada Muslim lain, agar si murtad tidak terdorong untuk tetap murtad.
2) Murtadin meninggalkan Islam, timbul bukan karena ia dia pindah ke sesuatu yang lebih benar dan lebih baik, tetapi untuk memenuhi sebagian dari keinginan duniawinya, misalnya, untuk mendapatkan kepentingan yang lebih besar atau hidup yang lebih nyaman atau penerimaan gaya hidup yang lebih besar seperti gaya hidup homoseksual. Tanda dari murtadin seperti ini adalah bahwa ia menunjukkan sedikit keinginan untuk mendengarkan argumentasi apapun. Jika murtadin seperti ini tidak terlibat dalam aktivitas apapun yang memusuhi Islam dan Muslim, dia tidak boleh diperangi (4:90). Tetapi karena ia telah jelas lebih suka kepada kekufuran daripada keimanan, maka perintah Allah berikut akan berlaku:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (9:23)
Menurut beberapa hadits “Ayat ini diturunkan mengenai sembilan orang yang setelah murtad pergi ke Mekah”. (Panipati, Tafsir Mazhari)
Selain menghindari persahabatan dan aliansi dengan murtad dari jenis kedua ini, umat Islam bisa memaksakan boikot terhadap mereka, karena boikot seperti itu dipaksakan oleh Nabi kepada tiga sahabat yang disebutkan pada ayat 9:118. Ketiga sahabat tidak melakukan kemurtadan tetapi hanya gagal untuk bergabung dengan Muslim di jihad tanpa alasan yang benar.
3) Jenis ketiga dari murtad adalah seseorang yang meninggalkan Islam dan kemudian melakukan tindakan permusuhan kepada Islam dan Muslimin, misalnya sengaja terlibat dalam propaganda melawan Islam dan Muslimin secara terang-terangan dan menunjukkan indikasi bahwa ia sulit diharapkan untuk mengetahui Islam dengan baik, melakukan hubungan rahasia dengan musuh, mengambil bagian dalam pertempuran melawan kaum muslimin. Murtad seperti ini dapat dihukum dengan opsi baik berupa pengasingan atau diperangi.
Dan Allah tahu yang terbaik!
LAMPIRAN
Di bawah ini kami menuliskan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kemurtadan yang belum sempat dibahas:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (2:217)
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang dzalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang tobat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima tobatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. (3:86-90)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (4:137)
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (9:66)
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (9:74)
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai. Tidak diragukan lagi, di akhirat mereka akan merugi. (16:106-109)
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? (47:25-27)
Catatan kaki:
[1] Hal ini berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Ontario, Kanada, yang memungkinkan umat Islam untuk menyelesaikan persengketaan dalam keluarga dan bisnis sesuai dengan syariat, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Kristen telah diizinkan selama bertahun-tahun untuk menyelesaikan persengketaan yang sama menurut mereka hukum dan tradisi mereka. Tetapi meskipun keputusan yang dibuat oleh arbitrase Syariat adalah dengan persetujuan pengadilan Ontario dan pergi ke badan arbitrase tersebut benar-benar sukarela, ada kegemparan dan tangusan yang besar terhadap gagasan arbitrase syariah tersebut. Peran yang paling negatif tersebut justru dimainkan oleh beberapa “Muslim” yang tidak mau berurusan dengan syariat dalam bentuk apapun. Akhirnya, pemerintah Ontario memutuskan untuk menghilangkan semua bentuk arbitrase yang berbasis agama.
[2] Mirza nampaknya telah didorong jika tidak diproduksi oleh kolonial Inggris, yang kebenciannya terhadap Islam dan praktek kegiatan subversif dan memecah belah di kalangan umat Islam telah dikenal. Peran mereka dalam menciptakan dua masalah dunia yang paling berbahaya – masalah Israel dan masalah Kashmir – dan invasi mereka di Irak baru-baru ini sebagai mitra junior dari mesin perang Amerika Serikat adalah manifestasi dari kecenderungan yang sama di antara kelas penguasa mereka.
Klaim Mirza berubah dari waktu ke waktu dan dia akhirnya menetapkan pernyataannya bahwa ia adalah Yesus yang kembali (semoga damai besertanya) dan Imam Mahdi. Klaim ini telah terbukti palsu karena Mirza meninggal tanpa mencapai salah satu dari tugas utama dari munculnya Imam Mahdi atau kembalinya Nabi Isa yang diharapkan dia lakukan dalam hidupnya, terlepas dari apakah kita merujuk pada harapan seperti ini dari orang-orang Yahudi atau Kristen atau Islam.
[3] Beberapa ulama akan menegaskan bahwa bahkan ketika pada ayat Al-Qur’an sudah ada daftar yang lengkap, namun Hadis dapat menambahkan item baru ke dalam daftar tersebut. Misalnya, pada ayat 4:23-24 Al-Qur’an sudah memberikan daftar kategori dari wanita yang dengannya pernikahan dilarang. Setelah memberikan daftar tersebut, Al-Qur’an secara eksplisit mengatakan: “Semua wanita lainnya diperbolehkan” untuk menikahinya. Namun, ada konsensus luas di kalangan ulama tentang adanya larangan lain: menikahi secara bersamaan seorang wanita dan bibinya dari pihak ibu atau ayah. Larangan ini didukung oleh sebuah hadits. Namun:
1) terdapat alasan mendasar yang memunculkan keraguan tentang keaslian hadis ini (lihat e-book saya, Hukuman untuk Zina di dalam Islam: Sebuah Penelitian yang Detil, Bab 1, Catatan 5, https://muslimsaja.wordpress.com/2011/08/09/hukuman-untuk-zina-menurut-islam/);
2) bahkan jika hadits ini dianggap shahih, maka larangan menikah dengan seorang wanita dan bibinya adalah merupakan detail kecil dan tidak layak dibandingkan dengan mengambil nyawa seseorang.
[4] Hal ini berlaku sama bagi mereka yang memberontak melawan negara yang menerapkan hukum Islam dengan benar, seperti kepada para penguasa yang memaksa orang untuk tidak mematuhi hukum-hukum Allah, misalnya dengan melarang pemakaian jilbab atau memenjarakan, atau menyiksa atau menghukum mati orang yang mengkritik para penguasa berdasarkan cahaya ajaran Islam. Jika kekuatan Islam mendapatkan tekanan dari para penguasa yang seperti ini, maka para penguasa yang melawan implementasi Syari’ah Al-Quran tersebut dapat diasingkan, dibuat cacat, disalib atau dieksekusi.
[5] Ini berlaku tidak hanya untuk perampok jalanan raya dan penjahat bersenjata lainnya, tetapi juga bagi penguasa yang dengan kekuasaan mereka yang represif menyebabkan terjadinya korupsi di muka bumi dan pengngkhianatan Islam.
[6] Ayat ini memberi gambaran tentang fakta bahwa bahkan ketika Al-Qur’an secara eksplisit merujuk kepada suatu tradisi sebelumnya, Al-Qur’an juga memperbaikinya. Ketentuan dan dorongan untuk mengampuni dengan cara tidak membalas atau dengan menerima tebusan tidak ditemukan dalam tradisi Taurat yang saat ini masih ada, yang hanya berbicara tentang pembalasan. Lihat Keluaran 21:23-25, Leveticus 24:20 dan Deutronomy 19:21. Bagian terakhirnya pada kenyataanya berkata: “Tunjukkan tidak ada belas kasihan”.
[7] Beberapa Muslim memahami kalimat “tidak ada paksaan dalam ad-Diin” dengan makna bahwa bahkan seorang Muslim tidak diwajibkan untuk mengikuti hukum Islam. Ini adalah kesalahan. Kebebasan yang diberikan dalam Al-Qur’an adalah kebebasan untuk memilih ad-Diin. Tetapi ketika suatu ad-Diin telah dipilih, seseorang diwajibkan untuk mengikuti hukum-hukumnya (5:43, 47). Khususnya, sekali seseorang telah secara bebas memilih untuk menerima Islam, ia dapat dan dalam beberapa kasus harus wajib mengikuti hukum-hukumnya. Hal ini mirip dengan cara orang yang bebas masuk suatu negara, maka ia wajib mengikuti hukum negara itu.
[8] Di sini pembaca harus -sekali lagi -menghindari kebingungan dengan mengingat apa yang dikatakan dalam catatan sebelumnya (7).
BAGIAN II:
PEMERIKSAAN AHADITH PADA SUBJEK TERSEBUT
Setelah melakukan penelitian di Bagian I, isu tentang hukuman bagi murtadin yang ditinjau dari sudut cahaya Al-Qur’an, kini tiba pada gilirannya untuk memeriksa masalah ini ditinjau dari sudut informasi hadits. Kami akan insya Allah menunjukkan bahwa kata-kata yang otentik dari Nabi saw tidak menetapkan adanya hukuman bagi murtadin. Ahadits di mana Nabi dilaporkan telah menentukan hukuman mati bagi dosa ini adalah tidak dapat dipercaya atau harus ditafsirkan secara berbeda.
Untuk memulainya kami akan menyajikan beberapa pertimbangan umum untuk menunjukkan posisi di atas sebelum memeriksa hadits yang dimaksud secara rinci.
Pertama, ketika suatu undang-undang/ hukum diberikan dengan cara yang diketahui umum, maka sejumlah banyak orang dapat mengetahui tentang hukum ini dan mengikutinya. Bahkan pemberi hukum yang biasa akan mengesahkan hujum agar menjadikannya dikenal luas. Pada zaman kuno seorang juru siar akan berkeliling kota dan membacakan dekrit raja di lapangan umum. Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh lain: jika seorang profesor ingin murid-muridnya melakukan beberapa pekerjaan rumah untuk kredit, dia tidak akan mengatakannya hanya kepada satu atau dua siswa saja. Dia sendiri akan mengumumkan ke seluruh kelas atau memastikan bahwa siswa yang kepadanya ia jelaskan penugasan tersebut akan menyampaikan informasi tersebut kepada siswa lainnya. Jika tugas tersebut diketahui secara terbatas pada beberapa siswa selama berminggu-minggu, maka tugas tersebut tidak dapat mengikat kelas tersebut. Prinsip yang sama akan berlaku untuk kepentingan yang jauh lebih besar berkaitan dengan hukum Islam, yang dimaksudkan untuk kepentingan semua orang dan sepanjang masa, dan dalam kasus yang lebih khusus menyangkut hukum yang mengatur pengambilan nyawa manusia. Oleh karena itu kita yakin bahwa jika Nabi saw ingin memberikan ketetapan undang-undang hukuman mati bagi murtadin, maka ia akan berusaha agar diketahui oleh sejumlah besar sahabat yang kemudian akan membuatnya diketahui oleh sejumlah besar tabiin dan seterusnya. Tidak dapat dibayangkan bahwa beliau akan menetapkan hukum tersebut dengan mengatakannya hanya kepada satu atau dua sahabat saja. Oleh karena itu hadits yang menetapkan hukuman mati seperti ini semestinya akan dilaporkan oleh banyak sahabat, dan kemudian oleh sejumlah besar tabiin dan seterusnya. Hal ini kemudian akan diketahui oleh setiap ulama terkemuka generasi berikutnya. Namun pada kenyataannya kita tidak memiliki hadits tentang hukuman mati bagi murtadin yang diketahui secara umum dari generasi ke generasi. Adapun hadits yang kita miliki di dalam kitab-kitab adalah gharib, yang diriwayatkan oleh sedikit sahabat dan sedikit tabiin. Ini adalah alasan yang kuat untuk menunjukkan bahwa hadits ini adalah termasuk di antara ribuan hadits yang dipalsukan atau dikenakan tahrif oleh beberapa Muslim awal.
Kedua, beberapa sarjana Muslim awal tampaknya tidak mengetahui adanya hadits yang menetapkan hukuman mati. Jadi, seorang ahli hukum terkemuka abad pertama, Ibrahim al-Nakha’i (w. 95), salah seorang guru dari Imam Abu Hanifah, memutuskan hukum bagi seorang yang murtad adalah diajak kembali kepada Islam selama ada harapan untuk bertobat dan tidak dihukum mati. Pendapat yang sama juga ditetapkan pada abad kedua oleh ahli hadits Sufyan al-Thawri (w. 161). Pendapat seperti ini tidak mungkin dikemukakan oleh seorang ahli hukum terkemuka dan seorang ahli hadits terkemuka jika pada zaman itu ada hadits yang diterima secara umum dimana Nabi menetapkan hukuman mati bagi murtadin. Pemeriksaan kami dari asanid dari hadits yang bersangkutan juga akan menunjukkan bahwa hadits ini tidak ada pada sebagian besar dari abad pertama dan mungkin tidak dikenal secara umum hingga memasuki abad kedua.
Ketiga, ahadits tentang hukuman mati menimbulkan pertanyaan serius dikarenakan adanya hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi saw tidak membertimbangkan hukuman mati bagi murtadin.
Keempat, dan yang paling penting, sebagaimana yang sudah kita lihat di Bagian I, bajwa hukuman mati bagi murtadin tidak sesuai dengan perspektif yang Qur’ani, yang menolak fitnah (penganiayaan atas dasar agama), menolak adanya paksaan dalam agama, menyebutkan adanya kasus murtad berkali-kali tetapi tidak pernah menyebutkan adanya sanksi hukum apapun untuk itu, dan pada kenyataannya membolehkan adanya hukuman yang lebih ringan dari pada hukuman mati bahkan ketika kejahatan kemurtadan ini disertai dengan kejahatan lainnya.
Marilah sekarang kota periksa hadits yang relevan dengan agak detail.
(A)
“SIAPAPUN YANG MERUBAH AGAMANYA, BUNUH DIA”
Karena harus menjadi jelas dalam keterkaitannya, satu-satunya hadits yang melegalkan atau menetapkan sebagai undang-undang hukuman mati bagi murtadin ditemukan, dengan beberapa variasi, dalam Kitab Bukhari 2794, 6411, Abu Da’ud 3787, Tirmidzi 1378, Nasa’i 3991 – 7, Ibnu Majah 2526, Ahmad 1776, 2420, 2813 (cf. Ahmad 1802). Semua riwayat mereka identik atau mirip dengan salah satu dari lima narasi berikut:
Hadits a1:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Abu al-Nu’man Muhammad ibn al-Fadl menceritakan kepada kami: Hammad bin Zaid yang menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Ikrimah yang mengatakan: “Beberapa Zanadiqah dibawa kepada ‘Ali RA. dan ia membakar mereka. Hal ini mencapai Ibn ‘Abbas dan dia berkata: Aku tidak akan membakar mereka karena larangan oleh Rasulullah saw: “Jangan menghukum dengan hukuman Allah’. Aku akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasulullah Allah: “Barang siapa mengubah agamanya, bunuh dia'” (Bukhari 9/ 57 = 6411).
Mirip dengan riwayat di atas juga ditemukan dalam Kitab Bukhari 2794, Nasa `i 3992, Abu Da` ud 3787, dan Ahmad 1775, 2420.
Hadits a2:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَمْ أَكُنْ لِأُحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ وَيْحَ ابْنِ عَبَّاسٍ
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal menceritakan kepada kami: Ismail bin Ibrahim menceritakan kepada kami: Ayyub mengabarkan kepada kami dari ‘Ikrimah bahwa Ali, AS, membakar beberapa orang yang meninggalkan Islam. Hal ini mencapai Ibn ‘Abbas dan dia berkata: Aku tidak akan membakar mereka dengan api. Sesungguhnya, Rasul Allah berkata: “Jangan menghukum dengan hukuman Allah.” Aku akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasulullah. Sebab, sesungguhnya Rasul Allah berkata: “Barangsiapa mengubah agamanya bunuh dia'”. Hal ini mencapai’ Ali, AS, dan ia berkata: ”Celakalah Ibnu 'Abbas”. (Abu Da `ud 3787)
Hadits a3:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا حَرَّقَ قَوْمًا ارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ وَلَمْ أَكُنْ لِأُحَرِّقَهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَقَالَ صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ
Ahmad bin ‘Abdah Al-Dabbi al-Basri menceritakan kepada kami:’ Abd al-Wahhab al-Thaqafi menceritakan kepada kami: Ayyub menceritakan kepada kami dari ‘Ikrimah bahwa’ Ali membakar beberapa orang yang meninggalkan Islam. Hal ini mencapai Ibn ‘Abbas dan dia berkata: Aku akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasul Allah: “Barang siapa mengubah agamanya bunuh’ dia. Saya tidak akan membakar mereka dalam pandangan ucapan Rasul Allah: ‘Jangan menghukum dengan hukuman Allah’. Hal ini mencapai ‘Ali dan dia berkata: Ibnu 'Abbas telah berbicara kebenaran “(HR al-Tirmidzi 1378)
Hadits a4:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عَلِيًّا أُتِيَ بِنَاسٍ مِنْ الزُّطِّ يَعْبُدُونَ وَثَنًا فَأَحْرَقَهُمْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Muhammad bin Muthanna mengabarkan kepada kami berkata: ‘Abd al-Samad menceritakan kepada kami berkata: Hisyam menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Anas bahwa Ali dibawakan dengan orang-orang dari al-Zatt yang menyembah berhala dan ia membakar mereka. Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Allah berkata secara pasti: Barangsiapa mengubah agamanya, bunuh dia. (NASA `i 3997)
Sebuah narasi mirip dengan di atas juga ditemukan dalam Ahmad 2813.
Hadits a5:
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengganti agamanya pukul lehernya” (Muwatta 1219)
Narasi mirip dengan di atas, yang hanya mengutip kalimat “Siapa pun yang mengubah agamanya …” juga ditemukan di Nasa `i 3991, 3993-6, dan Ibnu Majah 2526.
Pada pandangan pertama hadits tersebut nampak kuat. Hadits ini dianggap sahih oleh Bukhari dan Tirmidzi. Dan Nasa’i dan Abu Da’ud juga tidak menemukan adanya cacat padanya. Namun, meskipun demikian, hadits ini tidak dapat dipercaya sebagai sebuah hadits yang menetapkanb hukuman mati yang seharusnya, karena sebagaimana yang akan kita lihat hadits ini dipertanyakan oleh hadits lainnya, lebih baik dibuktikan. Selain dari itu, juga memiliki kelemahan sebagai berikut:
Pertama, jika kita meneliti rantai transmisi dari hadits tersebut, kita akan menemukan bahwa dalam Kitab Bukhari, Tirmidzi, Abu Da `ud dan Ibnu Majah hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh Ayyub al-Sakhtiyani (wafat 131) pada generasi ketiga, hanya oleh Ikrimah (w. 104) pada generasi kedua, dan hanya oleh Ibnu ‘Abbas (w. 68) pada generasi pertama. Nasa’i 3994, 3996, 3997 dan Ahmad 2813 dikaitkan dari Qatadah (w. 117) dari Anas (w. 91) [atau ‘Ikrimah] dari Ibnu’ Abbas. Selain itu, kita memiliki dua narasi mursal, yang tidak memiliki Shohabat dalam asanid mereka: Nasa’i 3995, yang dari Qatadah dari al-Hasan al-Basri (wafat 110) dan Muwatta 1219, yang dari Malik dari Zaid bin Aslam (w. 136). Ini berarti bahwa sangat sedikit orang yang meriwayatkan hadits pada generasi ketiga dan kedua dan pada generasi pertama tidak ada Shohabat yang dikutip atau hanya satu shohabat – Ibnu Abbas – yang dikutip. Ibnu ‘Abbas adalah seorang anak laki-laki berumur 13 tahun ketika Nabi saw meninggal. Tidak dapat dibayangkan bahwa Nabi saw akan memberitahukan ketetapan hukum tentang hukuman mati dengan cara di mana hanya seorang anak laki-laki berumur kurang dari 13 yang akan mengirimkannya ke generasi berikutnya.
Kedua, jika kita meneliti kehandalan dari para perawinya, kita akan menemukan bahwa setidaknya salah seorang dari mereka, yaitu ‘Ikrimah, budak Ibnu’ Abbas, telah menerima tinjauan yang beragam dari para ulama hadits. Sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Bukhari, Nasa’i, ‘Ijli, dan Abu Hatim al-Razi menganggap atau dilaporkan menganggap dia cukup dipercaya, sementara yang lain menganggapnya pembohong atau setidaknya tidak dapat dipercaya.
Abu ‘Amr’ Utsman bin al-Salah (wafat 643) dalam bukunya Ulum al-Hadits, yang dikenal umum sebagai Muqaddimah Ibn al-Salah, mengatakan bahwa Bukhari telah melaporkan hadits dari perawi yang tidak dipercaya oleh ulama lain. Dia menyebutkan bahwa ‘Ikrimah sebagai salah seorang perawi yang tidak dipercaya oleh ulama lain. Muhammad bin Saad dalam al-Tabaqat al-Kubra, Abu Ja’far al-‘Aqili di Kitab Du’afa al-`al-Kabir, al-Dhahabi dalam Mizan al-I’tidal, dan Hajr Ibn al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengutip beberapa ulama awal yang menganggap ‘Ikrimah sebagai orang yang tidak dapat dipercaya.
Ibn Sa’d mengatakan: “Laporannya tidak asli dan orang-orang telah ragu tentang dirinya”. Ibnu Sirin berkata tentang dia: “Dia biasa berbohong” dan Ibnu Abi Dhi’b berkata:” Saya bertemu ‘Ikrimah, ia tidak dapat dipercaya”. Sa’id bin Jubayr berkata: “Kamu menceritakan dari ‘Ikrimah beberapa hadits dimana ia tidak akan berani meriwayatkan jika aku sedang bersama dia”. Sa’id bin al-Musayyib mengatakan: “Budak Ibnu Abbas tidak akan berhenti hingga tali terikat di lehernya dan kemudian dililitkan”. Sa’id juga biasa menasihati budaknya: “Jangan melaporkan kebohongan apapun dan mengaitkannya kepada saya sebagaimana yang budak Ibnu Abbas lakukan terhadap dia (Ibnu Abbas)”. Sebuah nasihat serupa.dikaitkan kepada Ibnu ‘Umar untuk budaknya, Nafi’.
‘Abd Allah bin al-Harith mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi’ Ali, anak dari Ibnu ‘Abbas, dan ia terkejut ketika menemukan’ Ikrimah terikat di sebuah pos di luar pintu rumah Ali. Dia bertanya kepada ‘Ali apakah ia tidak takut kepada Allah karena perbuatannya kepada dia. ‘Ali menjelaskan dengan mengatakan: “Ini orang yang jahat yang mengaitkan hadits palsu kepada (almarhum) ayah saya (Ibnu’ Abbas)”
Malik dan Muslim juga tidak mempercayai ‘Ikrimah. Mutarrif berkata: “Aku mendengar Malik berkata bahwa ia tidak menyukai menyebut ‘Ikrimah (sebagai seorang perawi), dan saya tidak berpikir bahwa ia melaporkan pada otoritasnya”. Ibnu Hanbal berkata: “Malik melaporkan satu hadits dengan otoritas ‘Ikrimah”. Memang benar, ketika kami mencari ahadits dalam Muwaththa dari ‘Ikrimah, kami hanya menemukan satu hadits (# 765) dan itupun didukung oleh Malik dengan perawi kedua. Muslim juga hampir tidak meriwayatkan hadits apapun dari ‘Ikrimah, kecuali dalam sejumlah kasus kecil ketika ia menemukan hadits itu didukung oleh rantai riwayat (sanad) yang lain. Tidak heran jika hadits yang dipertanyakan tersebut tidak ada di Muslim.
Ketiga, terdapat beberapa perbedaan dalam berbagai riwayat hadits, beberapa di antaranya yang penting adalah:
1. Kata-kata yang dinisbahkan kepada Nabi berbeda dalam Muwatta 1219, meskipun artinya sama: Sebagai ganti kalimat “bunuh dia”, kita mendapati “pukul lehernya” dan kata yang berubah tersebut adalah ghayyara bukannya baddala.
2. Yang lebih penting lagi adalah bahwa pada narasi hadits a1, a2 dan a3 Ibnu ‘Abbas keberatan terhadap adanya pembakaran orang oleh ‘Ali sementara pada narasi hadits a4 ia tidak dan bahkan nampak menyetujui hal itu. Juga, pada narasi hadits a1 kita tidak diberitahu apakah ‘Ali datang untuk mengetahui keberatan Ibnu ‘Abbas. Tetapi pada narasi hadits a2 ‘Ali belajar tentang keberatan Ibnu ‘Abbas dan menanggapi dengan mengatakan:
“Celakalah Ibnu ‘Abbas” (wayha Ibnu’ Abbas).
Dalam beberapa naskah Abu Da`ud kata-kata yang dikaitkan kepada ‘Ali adalah:
“Celakalah ibu Ibnu ‘Abbas” (wayha umm Ibnu’ Abbas)
Pada narasi hadits a3 juga tanggapan dari ‘Ali juga disebutkan tetapi sangat berbeda:
“Ibnu ‘Abbas mengatakan kebenaran.” (Sadaqa Ibnu’ Abbas).
Jadi baik pada narasi hadits a1 respon dari ‘Ali telah dihapus atau telah diada-adakan dan ditambahkan pada narasi hadits a2 dan hadits a3. Selain itu, seseorang telah mengubah tanggapan ‘Ali dari wayha (umm) Ibnu ‘Abbas menjadi Sadaqa Ibnu ‘Abbas atau sebaliknya. Para komentator hadits mencoba untuk menyelaraskan dua tanggapan tersebut dengan mengatakan bahwa wayha merupakan ekspresi pujian dan ketakjuban tetapi arti yang naturalnya, mereka tidak bisa diselaraskan. Dalam kasus apapun, meskipun jika makna dari dua tanggapan tersebut yang sama, pada kenyataannya kata-kata tersebut telah berubah secara signifikan.
Orang-orang yang kepada mereka ‘Ali berkata untuk membakar sampai mati diuraikan secara bervariasi sebagai berikut:
Narasi hadits a1: Zanadiqah, sebuah kata yang berasal dari Persia yang diterjemahkan oleh Muhsin Khan sebagai “ateis”;
Narasi hadits a2 dan a3: “orang-orang yang meninggalkan Islam.”
Narasi hadits a4: “orang-orang dari al-Zatt yang menyembah berhala”.
Orang yang menyembah berhala tidak ateis dan orang yang ateis atau penyembah berhala tidak selalu murtad, karena mungkin saja mereka belum pernah menerima Islam.
Beberapa variasi yang disebutkan di atas mungkin tidak disadari tetapi yang lain jelas secara sadar dan disengaja. Oleh karena itu kami melihat bahwa hadits tersebut mengalami beberapa tahrif. Oleh karena itu kita tidak bisa menaruh kepercayaan yang cukup kepadanya untuk melembagakan hadits tersebut sebagai dasar hukum yang mengakibatkan pembunuhan seorang manusia.
Keempat, hadits tersebut mengharuskan kita untuk mempercayai bahwa Sayidina ‘Ali tidak mengetahui adanya larangan Rasulullah saw membakar manusia atau dia sengaja bertindak yang bertentangan dengan itu. Kedua kemungkinan tersebut sangatlah jauh. Jika Ibnu ‘Abbas tahu sesuatu yang dilarang oleh Nabi, maka sangat tidak mungkin ‘Ali tidak mengetahui tentang hal itu. ‘Ali, adalah orang yang dikatakan pintu dari kota ilmu, berada di antara kelompok orang yang pertama menerima Islam dan oleh karena itu hampir 23 tahun belajar dari Nabi. Ibnu ‘Abbas, di sisi lain, berubah menjadi Islam ketika masih seorang anak yang berumur sekitar 10 tahun ketika ayahnya’ Abbas menerima Islam pada tahun 7 H, hanya tiga tahun sebelum perginya Nabi meninggalkan dunia ini.
Dan meski katakanlah karena beberapa alasan ‘Ali tidak mengetahui tentang hadits pembakaran, beberapa dari banyak sahabat senior lainnya yang masih hidup pada waktu itu semestinya tahu tentang hukum ini. Kita berharap mereka juga akan membawakan kata-kata Nabi untuk memberitahu Ali ketika ia memutuskan untuk membakar manusia atau setelah ia melakukannya.
Terlepas dari hadits yang melarang pembakaran manusia, ternyata tidak ada laporan lain yang berisi informasi tentang pembakaran manusia oleh Nabi atau Abu Bakar atau Umar atau ‘Utsman. Jadi, mengapa ‘Ali keluar dari praktek para pendahulunya yang terkemuka? Mungkin ia menjadi sangat marah pada orang-orang dan ingin menghukum mereka dengan cara yang berat. Tetapi itu bukan gaya Khulafa`Rasyidin yang bertindak atas dasar kemarahan dengan cara ini. Karakter Ali lebih dekat dengan yang digambarkan dalam hadits di mana ia mengurungkan membunuh seorang kafir selama pertempuran ketika orang itu meludahi dirinya. ‘Ali menarik pedangnya dan membiarkan orang itu pergi. Ketika ditanya mengapa ia menarik pedangnya, ” Ali menjawab bahwa meludahnya laki-laki itu pada dirinya mungkin telah mencemarkan kemurnian niatnya berperang yang semestinya hanya karena Allah. Oleh karena itu membunuh orang karena marah yang berlebihan tidak diharapkan oleh ‘Ali. Itu adalah sesuatu yang terjadi setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidin ketika para penguasa menjadi kekuatan cinta, diktator dan tidak adil.
Selain itu, jika seandainya ‘Ali pernah membakar beberapa orang, maka semestinya banyak umat Islam akan mengetahui tentang hal itu, tidak hanya sedikit yang tahu karena sifat perbuatannya yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sehingga semestinya laporan tentang pembakaran tersebut akan ditemukan melalui banyak jalur riwayat banyak buku sejarah. Tetapi kita sepertinya tidak memiliki laporan terpisah tentang hal itu dalam sumber yang terkenal.
Jadi kita harus menyimpulkan bahwa setidaknya satu bagian dari hadits tersebut tidak dapat dipercaya: larangan pembakaran oleh Nabi atau tindakan pembakaran oleh ‘Ali. Dan jika salah satu bagian dari kedua versi hadits tersebut tidak dapat diandalkan, maka adalah wajar jika keraguan timbul terhadap seluruh hadits dari salah satu versi.
Kelima, hukum harus cukup teliti untuk memberikan pedoman yang bermanfaat. Tetapi hukum “barangsiapa mengubah agamanya, bunuhlah dia” terlalu umum dan tidak teliti. Jika diambil secara harfiah akan mewajibkan kita untuk membunuh, misalnya, seorang Kristen yang menjadi seorang Yahudi, karena ia berubah agamanya. Beberapa ulama Syafi’i sebenarnya telah menafsirkan hadits secara umum, interpretasi yang disebutkan dan dikritik oleh al-Shawkani di dalam Nayl al-Awtar: Syarah Muntaqa al-Akhbar.
Sifat umum dan tidak teliti pada hukum “barangsiapa mengubah agamanya, bunuhlah dia” lebih ditingkatkan dengan adanya fakta bahwa tidak ada konteks yang diketahui tentang apa hukum ini ditetapkan. Biasanya hukum diberikan dalam beberapa konteks, yang dalam kasus-kasus penting dipertahankan dan membantu mejadikan hukum lebih teliti. Tetapi dalam kasus hukum khusus ini tidak ada konteks yang diberikan untuk menjelaskan lingkupnya.
Dan bahkan terlepas dari konteks tersebut, Qur`an dan Hadits seringkali diawali dengan hukum umum dan kemudian memberikan rincian yang cukup di tempat lain. Bahkan formulasi hukum yang bersifat umum tetap dengan susunan kata yang hati-hati. Tetapi hukum “barangsiapa mengubah agamanya, bunuhlah dia” muncul hampir ceroboh dalam formulasi dan tidak dijelaskan dan diuraikan lebih lanjut dalam hadits lainnya. Sulit untuk menerima bahwa itu berasal dari Nabi saw.
Analisis lebih lanjut
Berbagai pertimbangan di atas cukup untuk menunjukkan bahwa hadits tersebut dianggap tidak asli. Kami sekarang menyajikan beberapa analisis lebih lanjut terhadap hadits tersebut dalam rangka untuk melihat kapan dan bagaimana hadits tersebut menjadi dipalsukan.
Kita dapat mengatakan dengan beberapa keyakinan bahwa hadits tersebut memang diriwayatkan oleh beberapa perawi generasi ketiga, yaitu Ayyub (w. 131), Qatadah (wafat 117) dan Zaid bin Aslam (w. 136). Beberapa rantai menuntun kita kepada Ayyub, sebagian membawa kita kepada Qatadah dan kami memiliki dokumen Imam Malik yang mencatat bahwa Zaid bin Aslam (w. 136) meriwayatkan hadits tersebut. Ini berarti bahwa hadits tersebut sudah mulai dikenal di bagian awal abad kedua atau bahkan sedikit lebih awal. Tetapi sejarah hadits tersebut sebelum zaman itu tidak diketahui secara pasti.
Zaid bin Aslam tidak memberikan sumber apapun dari hadits tersebut. Qatadah dikatakan meriwayatkan dari tiga perawi, yaitu: 1) al-Hasan; 2) Anas bin Malik, 3) ‘Ikrimah. Namun ketiga isnad tersebut diragukan. Al-Hasan dan Anas memiliki banyak murid yang datang kepada mereka untuk mencari ahadits dan tidak mungkin hanya Qatadah yang melaporkan hadits tersebut dari mereka. Tampaknya hadits tersebut pada awalnya diriwayatkan oleh Qatadah tanpa isnad, seperti Zaid bin al-Aslam di Muwatta. Setelah itu isnadnya terbentuk. Karena Qatadah dikenal sebagai shohabat al-Hasan dan Anas, beberapa orang menyangka bahwa ia meriwayatkan hadits dari al-Hasan (Nasa`i 3995) sementara yang lain menganggap bahwa ia meriwayatkan dari Anas (Nasa`i 3996-7, Ahmad 2813). Yang lain, karena mengetahui bahwa ‘Ikrimah juga menceritakan hadits tersebut, maka mengasumsikan bahwa Qatadah mendengar dari ‘Ikrimah (Nasa`i 3994). Penambahan dan perubahan isnad tersebut pasti terjadi. Kami memiliki banyak contoh yang sangat jelas dari adanya perubahan yang terjadi pada isi dari ahadits, beberapa di antaranya kami temui sehubungan dengan hadits yang sedang dibahas. Dan jika terjadi perubahan pada isi dari ahadits, maka hal itu pasti juga terjadi pada isnad mereka.
Setelah jelas tentang Zaid bin Aslam dan Qatadah, kita sekarang tinggal meneliti Ayyub yang secara konsisten menyebut nama Ikrimah (w. 104) sebagai sumbernya. Jadi kita bisa menerima bahwa ‘Ikrimah memang meriwayatkan hadits tersebut. Selain itu, ada kemungkinan bahwa ‘Ikrimah meriwayatkan hadits tersebut dalam bentuk yang menyebutkan pembakaran terhadap beberapa orang oleh ‘Ali dan keberatan dari Ibnu ‘Abbas oada tindakan itu (narasi 1-3). Hal ini karena dalam format ini hadits Ikrimah’s diriwayatkan dengan paling banyak isnad dan dalam kebanyakan kitab.
Alasan terjadinya penerimaan secara bertahap dan luas terhadap hadits ini tidak diragukan lagi adalah karena sifat menarik tentang gagasan kesetiaan kepada suatu kelompok dan menjaga loyalitas kepada kelompok dengan cara mengeksekusi para pengkhianat dan orang-orang yang murtad. Suatu indikasi dari adanya daya tarik luas dari ide ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa hukuman mati untuk pengkhianat / murtad ditemukan pada hampir semua budaya dan tradisi yang dekat dengan zaman dan tempat munculnya Islam dan sesudahnya. Dalam tradisi Yahudi, yang merupakan sumber aturan/ hukum dan ide pemalsuan dalam Islam, hukuman mati bagi orang yang murtad, terutama ketika diwujudkan dengan menyembah tuhan-tuhan selain Allah Israel, diajarkan di beberapa bagian Alkitab termasuk Keluaran 22:20 , 32:21-29, Deut 17:2-7, Lev 24:16. Hal yang serupa terjadi pada kasus tradisi atau praktek Romawi dan Kristen.
Seringkali hukuman bagi pengkhianat/ murtad adalah hukuman mati dengan cara dibakar. Budaya Romawi sering membakar manusia karena pengkhianatan dan kemurtadan, termasuk orang Kristen yang mereka anggap pengkhianat kerajaan dan/ atau murtad dari paganisme Romawi. Kemudian hukuman mati dengan cara membakar digunakan oleh orang-orang Kristen sendiri terhadap para ahli bidah dan penyihir, yang dianggap murtad dari kekristenan. Sebagai contoh, pada abad pertengahan Kristen Unitarian terkemuka seperti Servetus yang percaya pada monoteisme sejati dan menolak dogma Katolik keilahian Yesus dan trinitas Allah dibakar sampai mati. Yudaisme juga menetapkan hukuman mati dengan cara membakar untuk sejumlah kejahatan, seperti: berhubungan seks dengan ibu mertua (Lev 20:14), prostitusi yang dilakukan oleh putri seorang imam (Lev 21:9), perzinahan (Kej 38:24), (Josh 7:15, 24-25), meskipun tidak untuk yang murtad. Mungkin saja hadits tentang pembakaran manusia oleh ‘Ali telah terinspirasi oleh pengaruh dari tradisi non-Muslim bukan fakta sejarah.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa terdapat juga satu narasi di mana Nabi melarang pembakaran yang diriwayatkan secara terpisah dari kelima jenis hadits di atas:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Sufyan meriwayatkan kepada kami dari Ayyub dari ‘Ikrimah dari Ibnu’ Abbas yang mengatakan: Rasul Allah berkata: “Jangan menghukum dengan hukuman Allah”. (Ahmad 1802)
Ada pertanyaan terkait dengan hadits ini: Apakah hukum yang menetapkan hukuman mati bagi yang murtad dan hadits yang melarang hukuman dengan cara membakar sudah ada sebagai hadits yang terpisah sebelum ‘Ikrimah atau dialah orang pertama yang membuatnya menjadi ahadits? Jawabannya nampaknya yang kedua. Karena, narasi yang hanya berisi satu atau narasi yang berisi kedua hukum tersebut tidak terdokumentasi dengan baik dalam literatur hadits sebagaimana semestinya (tidak ada cacat) jika hadits-hadits itu telah ada lebih dulu dari pada ‘Ikrimah dan seharusnya tidak diriwayatkan oleh dia saja. Dua dari ahadits memiliki isnad yang tidak lengkap dan yang lainnya hanya ditemukan di Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad, yang mana dua buku yang terakhir tidak dikenal mempunyai kehandalan tinggi. Sebaliknya, narasi dari ‘Ikrimah yang berisi tentang pembakaran beberapa orang oleh Ali adalah lebih berbobot utama, karena berada di Bukhari, Tirmidzi, Abu Da`ud, Nasa`i, dan Ahmad. Oleh karena itu narasi ‘Ikrimah tampaknya menjadi lebih asli dan narasi lainnya berasal darinya dengan proses tersebut di atas, yaitu, dengan memisahkan kata-kata yang dinisbahkan kepada Nabi dan mengutipnya secara terpisah.
(B)
SEORANG BADUI YANG “MEMBATALKAN” KEISLAMANNYA TIDAK DIHUKUM
Kita sekarang membahas sebuah hadits, yang lebih handal dari yang telah kita bahas di atas dan menunjukkan bahwa Nabi tidak memikirkan adanya hukuman mati bagi yang murtad. Hadits ini ditemukan dalam tiga sumber terbaik kami, yaitu Muwatta, Bukhari dan Muslim, serta di Tirmidzi, Nasa`i dan Ahmad. Hadits ini ditemukan terutama dalam dua versi yang berbeda.
b1. Narasi Muhammad bin al-Munkadir
وَحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَأَصَابَ الْأَعْرَابِيَّ وَعْكٌ بِالْمَدِينَةِ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقِلْنِي بَيْعَتِي فَأَبَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ أَقِلْنِي بَيْعَتِي فَأَبَى ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ أَقِلْنِي بَيْعَتِي فَأَبَى فَخَرَجَ الْأَعْرَابِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طِيبُهَا
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin ‘Abd Allah: seorang Badui memberikan janji kesetiaan (berbaiat) untuk memeluk Islam. Pada hari berikutnya ia datang dengan menggigil dan kemudian datang kepada Nabi, sambil berkata: “Wahai Utusan Allah! Batalkan baiat saya!.” Nabi menolak. Dia datang lagi kepadanya dan berkata: “Batalkan baiat saya”. Ia menolak. Dia datang kepada Nabi di waktu yang lain dan berkata: “Batalkan baiat saya.” Dia menolak lagi. Badui tersebut kemudian pergi keluar. Kemudian Rasul Allah berkata: “Madinah adalah persis seperti tungku, ia mengusir keluar kotoran dan mempertahankan yang baik.” (Muwatta 1377)
Seperti narasi di atas, kebanyakan riwayat lainnya, yaitu Bukhari 9/ 316 = 6669, 9/ 318 = 6671, 9/424A = 6777, Muslim 2453, Tirmidzi 3855, Nasa`i 4114, Ahmad 13766 – datang dengan isnad tersebut, yaitu:
Malik (wafat 179) – Muhammad bin al-Munkadir (w. 131) – Jabir bin Abd Allah ‘(w. 78)
Beberapa – Bukhari 3 / 107 = 1750, Ahmad 13781, 14409, 14682 – juga datang dengan isnad:
Sufyan al-Thawri (w. 161) – Muhammad bin al-Munkadir – Jabir bin ‘Abd Allah
Tanpa kisah tentang Badui dan pernyataan tentang Madinah menjadi seperti tungku ditemukan di Muslim 2454 (dari Zaid bin Tsabit) dan Muwatta 1378 (dari Abu Hurairah). Dalam Ahmad 14.697 laporan tentang Madinah dilengkapi oleh pernyataan lain tentang kesucian Madinah dan Mekah yang juga disebutkan dalam banyak hadits lainnya.
Dalam Muslim 2453, kata-kata penting ‘ala al-islam dihilangkan. Ahmad 13781 dari Sufyan dengan kata ‘ala al-Hijrah. Tetapi hampir semua riwayat lainnya dari Malik dan juga dari Sufyan terdapat kalimat ‘ala al-islam dan kami cukup yakin bahwa kalimat itu adalah bagian dari narasi asli Muhammad bin al-Munkadir.
b2. Narasi dari al-Harith bin Abi Yazid
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْفُضَيْلُ يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى عَنِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ قَوْمًا قَدِمُوا الْمَدِينَةَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِهَا مَرَضٌ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَخْرُجُوا حَتَّى يَأْذَنَ لَهُمْ فَخَرَجُوا بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي الْخَبَثَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
Husain bin Muhammad meriwayatkan kepada kami: al-Fudayl (Ibnu Sulaiman) meriwayatkan kepada kami: Muhammad bin Abi Yahya meriwayatkan kepada kami dari al-Harith bin Abi Yazid dari Jabir bin ‘Abd Allah al-Anshari bahwa beberapa orang tiba di Madinah dengan Nabi dan datang dengan suatu penyakit. Nabi melarang mereka untuk pergi sampai ia memberi mereka izin. tetapi mereka pergi tanpa izin beliau. Sehingga Rasul Allah berkata: “Madinah adalah persis seperti tungku, ia mengusir keluar kotoran seperti sebuah dapur mengusir kotoran dari besi.” (Ahmad 14600)
Riwayat ini tidak hanya memiliki isnad yang sangat berbeda, tetapi juga memberikan cerita yang berbeda secara nyata. Terdapat lebih dari seorang yang datang ke Madinah dan dosa mereka bukan membatalkan bay’ah pada Islam tetapi meninggalkan Madinah bertentangan dengan perintah Nabi. Sangat mudah untuk melihat bahwa narasi ini hanya ditemukan di Ahmad, dan rusak. Perawi Ibn Sulaiman dianggap lemah oleh kebanyakan ulama hadits. Di antara komentar yang dia terima adalah sebagai berikut:
“Ada beberapa hadits yang ditolak dari dia”,
“Tidak dapat dipercaya”
“Menulis hadits, tidak kuat”
“Tidak kuat”.
Perawi lain al-Harits bin Abi Yazid terlalu sedikit diketahui telah dievaluasi secara meaykinkan. Dibandingkan dengan ini, narasi b1 (al-Munkadir) ditemukan dalam banyak buku, termasuk Ahmad dan memiliki isnad yang baik. Dua ahli hadits, Malik dan Sufyan meriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir yang dianggap sangat dapat diandalkan dan dikatakan menceritakan hadits langsung dari seorang sahabat.
Orang bisa saja mengatakan bahwa dua riwayat tersbut sedang berbicara tentang dua kejadian yang berbeda. Tetapi, meskipun hal ini akan menghapus konflik antara kedua versi narasi tersebut, kelemahan narasi kedua akan tetap ada, karena muncul dari kenyataan bahwa para perawinya tidak semuanya dapat dipercaya dan tidak ada di sebagian besar kitab hadits. Lebih dari itu, terlalu banyak kebetulan bahwa dua insiden yang berbeda tetapi sangat mirip akan diriwayatkan oleh seorang sahabat.
Oleh karena itu hanya narasi dari Al-Munkadir yang memiliki kehandalan. Riwayat ini menyajikan kepada kita kasus yang jelas tentang kemurtadan yang terjadi tepat di depan Nabi saw, namun ia tidak mempertimbangkan adanya hukuman apapun, apalagi hukuman mati. Beberapa ulama menganggap bahwa Badui bay’ah tersebut perihal untuk tinggal di Madinah. Tetapi Qadhi ‘Ayyad dan lainnya telah mengatakan bahwa Badui tersebut meminta untuk membatalkan keIslamanya. Kalimat `ala al-islam, seperti yang ditunjukkan sebelumnya, hampir pasti bagian dari narasi asli, juga dengan jelas menunjukkan bahwa bay’ah dari Badui tersebut adalah untuk memeluk Islam dan permintaannya adalah untuk pembatalan yang berarti bahwa ia meninggalkan Islam.
Narasi b2 (dari al-Harith bin Abi Yazid) adalah hasil dari beberapa jenis tahrif, tujuannya kelihatannya untuk mendamaikan hadits tersebut dengan hukuman mati karena murtad. Jadi dalam narasi ini dosa murtad menjadi dosa meninggalkan Madinah tanpa izin Nabi. Dengan cara ini hukuman mati bagi yang murtad tidak dipertanyakan. Penghilangan ‘ala al-Islam pada hadits Muslim 2453 dan perubahannya menjadi kalimat `ala al-hijrah pada hadits Ahmad 13781 tampaknya memiliki tujuan yang sama.
Perbandingan hadits dari al-Munkadir dan dari ‘Ikrimah.
Hadits dari al-Munkadir tentang hukuman kemurtadan dari Badui adalah lebih kuat dari pada hadits dari ‘Ikrimah yang menetapkan hukuman mati karena murtad. Para ulama memberikan kredibilitas khusus pada sebuah hadits “yang disepakati”, salah satunya adalah yang diterima oleh Bukhari dan Muslim. Hadits al-Munkadir adalah “yang disepakati” sedangkan hadits dari ‘Ikrimah tidak, yang ditemukan dalam Bukhari tetapi tidak ada di Muslim. Terkait dengan hal ini adalah fakta bahwa Muhammad bin al-Munkadir dianggap sebagai perawi yang jauh lebih dapat dipercaya dibanding ‘Ikrimah.
Selain itu, di dalam hadits dari al-Munkadir tidak ada kalimat seperti membakar manusia oleh ‘Ali yang menimbulkan keraguan tentang keasliannya. Dan tidak ada ketegangan atau pertentangan dengan Al-Qur`an. Perlakuan Nabi kepada si murtad Badui benar-benar konsisten dengan Al-Qur`an – kemurtadan memang dikutuk, tetapi hukumannya terserah kepada Allah. Perilaku dari Badui tersebut juga konsisten dengan apa yang ada di Al-Qur`an (9:90, 97-101, 49:14 dll) dan beberapa hadits yang membicarakan tentang Badui (al-a’rab).
Seperti hadits dari ‘Ikrimah, hadits dari al-Munkadir juga gharib, karena ditrasmisikan hanya oleh perawi tunggal pada generasi pertama dan dua orang pada generasi kedua. Namun tidak seperti hadits dari ‘Ikrimah, hadits ini tidak terbukti tidak dapat diandalkan walaupun gharib. Sebab, hadits ini tidak menetapkan suatu hukum yang harus diundangkan untuk mencapai sejumlah maksimum orang. Hadits ini melaporkan sebuah insiden yang bisa terjadi ketika hanya beberapa sahabat seperti Jabir bin ‘Abd Allah, yang hadir. Baik Nabi maupun sahabat punya alasan khusus untuk tidak menyebarkannya secara luas.
Salah satu cara untuk mendamaikan hadits tentang Badui murtad dengan hadits dari ‘Ikrimah mungkin dengan mengatakan bahwa kemurtadan dari Badui terjadi sebelum hukuman mati ditetapkan bagi yang murtad. Tetapi mengingat tidak adanya indikasi lengkap perihal tanggal kejadian dan sangat lemahnya ‘hadits Ikrimah, maka harmonisasi ini sulit untuk diterima. Kalau seandainya penetapan hukuman mati datang kepada kita dengan cara yang jelas dan pasti dari banyak sumber yang dapat dipercaya dan melalui banyak ahadits, kami akan dibenarkan untuk mencoba untuk melakukan rekonsiliasi dengan perlakuan Nabi kepada Badui yang murtad, meskipun tidak ada indikasi tanggal kejadian. Tetapi mengingat fakta bahwa “hadits Ikrimah“ adalah hanya satu-satunya hadits yang menetapkan hukuman mati bagi murtadin dan hadits tersebut mempunyai banyak kelemahan, maka kita perlu memberikan prioritas pada hadits tentang Badui murtad dan menganggapnya sebagai indikasi sebenarnya dari sikap Nabi terhadap murtadin.
(C)
“DARAH SEORANG MUKMIN TIDAK DAPAT DITUMPAHKAN KECUALI …”
Dua hadits yang dibahas di atas, yaitu dari ‘Ikrimah dan Muhammad bin al-Munkadir, adalah yang paling relevan dengan pertanyaan apakah Nabi saw menetapkan hukuman mati bagi murtadin. Hadits lain yang sering dikutip sehubungan dengan masalah ini adalah salah hadits yang berisi tiga kondisi di mana seorang Muslim dapat dibenarkan untuk dibunuh. Namun demikian, ketika membaca berbagai riwayat hadits ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa hadits ini tidak menetapkan hukuman mati bagi murtadin tetapi hanya mengakui adanya kemungkinan bahwa murtadin dapat secara sah dibunuh dalam kondisi tertentu.
Untuk memulai pemeriksaan kami secara detail dari hadits tersebut, kami mengkategorikan berbagai narasi dan mengutipkan satu hadits pada setiap kategori.
c1. Narasi dari Masruq dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ قَالَا أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Abu Bakar bin Abi Shaybah menceritakan kepada kami: Hafsh bin Ghayath dan Abu Muawiyah dan Waki’ yang meriwayatkan kepada kami dari al-A’mash dari ‘Abd Allah bin Murrah dari Masruq dari ‘Abd Allah (bin Mas’ud) yang berkata: Rasul Allah berkata: “Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku Rasul-Nya tidak halal, kecuali dalam salah satu dari tiga kasus: seseorang yang sudah menikah, melakukan zina, seseorang karena (pembunuhan) yang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan dari jama’ah (umat Islam)”. (Muslim 3175)
Narasi mirip dengan di atas datang dengan isnad berikut:
Al-A’mash (wafat 147) dari ‘Abd Allah bin Murrah (w. 100) dari Masruq (w. 63) dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud (w. 32).
Hadits-hadits tersebut menggambarkan murtadin yang dapat dibunuh sebagai orang-orang yang terpisah dari masyarakat, walaupun ada variasi berikut dalam kata-kata yang digunakan:
1. “seseorang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jamaah” [Al-tarik li din hi al-mufariq (li) al-jama’ah] (Muslim 3175, Abu Da `ud 3788, Ibnu Majah 2525, Darimi 2196, 2339, Ahmad 3438, 3859, 4024)
2. “seseorang yang meninggalkan Islam dan memisahkan diri dari jamaah” [Al-tarik (li) al-islam (wa al-) mufariq (li) al-jama’ah] (Muslim 3176, Nasa`i 3951, Ahmad 34301)
3. “seseorang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri” [Al-tarik din hu al-mufariq] (Nasa`i 4642)
4. “seseorang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan jamaah” [Al-tarik din hu al-fariq al-jama’ah] (Ahmad 4197)
5. “seseorang yang memisahkan dari agama dan meninggalkan jamaah” [al-mufariq min al-din (li al-din) al-tarik li al-jama’ah] (HR Bukhari 6370)
c2. Narasi dari ‘Ubayd bin’ Umair dari ‘A`ishah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ فَإِنَّهُ يُرْجَمُ وَرَجُلٌ خَرَجَ مُحَارِبًا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الْأَرْضِ أَوْ يَقْتُلُ نَفْسًا فَيُقْتَلُ بِهَا
Muhammad bin Sinan al-Bahili yang meriwayatkan kepada kami: Ibrahim bin Tahman yang meriwayatkan kepada kami dari ‘Abd al-Aziz bin Rufay’ dari ‘Ubayd bin’ Umair dari ‘A`ishah yang berkata: Rasulullah Allah berkata:” Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak halal kecuali dalam salah satu dari tiga kasus: seseorang yang melakukan zina setelah menikah, karena ia dirajam, seseorang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, jarena, dia dibunuh atau disalib atau diasingkan dari bumi; atau orang yang membunuh orang lain dan dibunuh karena dia “(Abu Da`ud 3789)
Narasi jenis ini datang dengan isnad:
Ibrahim bin Tahman (w. 168) dari ‘Abd al-Aziz bin Rufay’ (d.130) dari Ubayd bin `Umair (w. 68) dari ‘A`ishah (w. 58).
Mereka menggambarkan kemurtadan yang dapat mengakibatkan hukuman mati sebagaimana memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan beberapa variasi:
1. “seseorang yang menetapkan memerangi Allah dan Rasul-Nya” [rajul kharaja muhariban li allah wa rasul hi] (Abu Da `ud 3789)
2. “seseorang yang keluar dari Islam dan memerangi Allah dan Rasul-Nya” [yakhriju min al-islam yuharibu allah ‘Azza wa jalla wa rasul hi] (Nasa`i 3980)
Pemahaman tentang kejahatan yang dapat dihukum mati ditemukan di kedua jenis narasi ini juga ditemukan dalam sebuah hadits independen dari Abu Qilabah (Bukhari 6390, lihat juga 3872, 4244). Hadits yang panjang ini dikutipkan secara lengkap di Lampiran.
c3. Narasi dari ‘Amr bin Ghalib dari ‘A`ishah
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ غَالِبٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانِهِ أَوْ كَفَرَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ أَوْ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ
‘Amr bin’ Ali memberitahu kami sambil berkata: Yahya meriwayatkan kepada kami sambil berkata: Sufyan meriwayatkan kepada kami sambil mengatakan: Abu Ishaq meriwayatkan kepada kami dari ‘Amr bin Ghalib yang berkata: ” ’A’ishah berkata: Tidakkah kamu tahu, bahwa Rasul berkata: “Darah seorang muslim tidak halal kecuali (yaitu) orang yang melakukan zina setelah dia menikah atau kafir sesudah keislamannya atau seseorang karena (pembunuhan) kepada yang lain ‘. (Nasa`i 3952)
Narasi jenis ketiga ini datang dengan sanad:
Sufyan (dan Isra`il) dari Abu Ishaq (w. 128) dari ‘Amr bin Ghalib dari ‘A ishah (w. 58).
Mereka menggambarkan kemurtadan yang dapat dihukum mati sebagai melakukan kufur setelah menerima Islam atau melakukan irtidad:
1. “seseorang yang kafir setelah menerima Islam” [kafara ba’da islam hi (ma aslama)] (Nasa`i 3952, Ahmad 23169)
2. “seseorang yang murtad setelah penerimaan tentang Islam” [irtadda rajul ba’da islam hi] (Ahmad 24518, 24611)
Narasi tipe c3 adalah yang paling lemah dari ketiganya. Mereka hanya ditemukan di Ahmad dan Nasa`i. Selain itu, perawi ‘Amr bin Ghalib tidak dikenal. Hanya dua perawi yang bisa dikatakan menceritakan ahadits dari dia dan mereka berdua memiliki julukan yang sama, Abu Ishaq, yang mungkin merupakan hasil dari beberapa kebingungan karena identitas nama panggilan dan dapat diartikan bahwa hanya ada satu orang yang meriwayatkan ahadits dari dia. Kita tidak tahu kapan ia meninggal, sehingga kita tidak dapat mengatakan apakah ia bertemu ‘A’ishah atau tidak. Abu Ishaq sendiri adalah terpercaya tetapi dikatakan telah menjadi pikun di tahun-tahun terakhir.
Narasi c3 menghalalkan darah seorang yang murtad. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa di sini hukuman mati ditetapkan bagi murtadin. Menjadikan sesuatu diperbolehkan, jelas tidak sama dengan menetapkan. Ini menjadi lebih jelas jika kita membandingkan kasus murtad dengan kasus lain yang disebutkan dalam hadits – kasus pembunuh. Dalam hukum Islam pelaksanaan hukuman mati bagi pembunuh tidak ditetapkan dalam arti bahwa seorang pembunuh harus dibunuh. Hidupnya bisa diselamatkan jika keluarga orang yang dibunuh tersebut menerima tebusan, yang dalam hal ini darahnya menjadi tidak halal. Perhatikan dalam kasus seorang pembunuh, kondisi ini tidak disebutkan dalam narasi hadits. Hal ini sangat masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kasus murtad adalah mirip. Artinya, narasi tersebut dapat dipahami dengan makna bahwa murtadin dapat dihukum mati pada kondisi tertentu.
Narasi c1 dan c2 pada kenyataannya menyebutkan beberapa kondisi di mana darah murtadin menjadi halal. Berbeda dengan narasi c3, yang paling lemah dari ketiga narasi tersebut, narasi c1 tidak berbicara tentang kemurtadan biasa. Terhadap deskripsi murtad sebagai “orang yang meninggalkan agamanya” ditambahkan kondisi lebih lanjut kondisi: “memisahkan dari jama’ah”. Kondisi tambahan ini tidak mungkin berarti bahwa jika seorang Muslim meninggalkan agamanya, namun tetap dalam jama’ah (masyarakat Muslim), tetap melakukan interaksi dengan kaum muslimin, maka ia dibunuh, tetapi jika ia memutuskan semua hubungan/ ikatan dengan kaum muslimin maka ia akan terbunuh . Kondisi tersebut lebih pas ditafsirkan jika terkait dengan pemisahan (pemutusan hubungan) yang menciptakan perpecahan, konflik atau pemberontakan. Jadi artinya adalah bahwa membunuh seorang yang murtad yang kemurtadannya disertai konflik dengan kaum muslimin diperbolehkan. Hal ini menjadi sangat eksplisit pada narasi c2, yang mengatakan bahwa “seseorang (Muslim) yang berencana memerangi Allah dan Rasul-Nya” adalah “dibunuh atau disalib atau diasingkan dari bumi”. Ini sangat dekat dengan apa yang Al-Qur`an nyatakan (05:33) dan menunjukkan bahwa tidak ada hukuman untuk murtadin yang seperti itu. Hanya jika murtadin terlibat dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya maka dia dihukum dan bahkan kemudian hukumannya bisa saja hanya dengan pengasingan.
Mengomentari narasi pertama, yang berasal dari Muslim, Nawawi berbicara tentang shurut di mana seseorang dibunuh karena pembunuhan atau perzinahan, tetapi ketika tiba pada kasus kemurtadan dia mengambil kata-kata tersebut secara absolut dan mengatakan: “ini bersifat umum untuk setiap murtad dari Islam apapun yang mungkin kemurtadan tersebut dan sehingga eksekusinya adalah Wajib jika ia tidak kembali kepada Islam”. Dia juga menyebutkan pandangan ulama bahwa hukuman mati juga berlaku bagi semua orang yang meninggalkan masyarakat karena bid’ah atau pemberontakan dll. Tetapi jika kita bersedia untuk mengkualifikasi pembunuhan terhadap seorang pembunuh dalam kondisi tertentu, yang dispesifikasikan di tempat lain dalam Al-Qur`an dan Hadits, maka kita juga bisa mengkualifikasi pembunuhan terhadap seorang yang murtad dengan kondisi tertentu sebagaimana dalam Qur`an (5:33), dalam narasi c2 dan hadits Abu Qilabah.
Oleh karena itu kami menyimpulkan bahwa hadits yang sedang kita bahas tidak mengatur adanya hukuman mati bagai murtadin dan jika hadits c1 dan, terutama c2 diterima sebagai versi yang asli, maka sebenarnya hadits tersebut bertentangan dengan hukuman mati yang ditetapkan untuk kasus sederhana kemurtadan.
Mempertanyakan kehandalan hadits
Mengingat kesimpulan di atas maka tidak benar-benar diperlukan untuk meneliti hadits dari aspek kehandalannya. Ini dilakukan sekedar sebagai dukungan tambahan bagai karakter yang tidak Islami menyangkut hukuman mati bagi kemurtadan di mana kami telah menyebutkan beberapa alasan yang menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak dapat dipercaya.
Pertama, perzinahan adalah salah satu dari tiga jenis kejahatan yang menurut hadits tersebut membolehkan pembunuhan kepada si pelaku. Namun hukuman mati karena perzinahan juga bermasalah jika ditinjau dengan Al-Qur`an (Lihat Hukuman untuk Zina di dalam Islam: Sebuah penelitian detail di https://muslimsaja.wordpress.com/2011/08/09/hukuman-untuk-zina-menurut-islam/).
Kedua, hadits tersebut relatif sedikit dikenal untuk jangka waktu yang sangat lama. Dari ‘Abd Allah bin Mas’ud hanya Masruq yang meriwayatkan, dari Masruq hanya ‘Abd Allah bin Murrah (w. 100) yang meriwayatkan dan darinya hanya al-A’mash (w. 147). Situasi yang sama juga terjadi dalam kaitannya dengan riwayat dari ‘A`ishah. Oleh karena itu sampai abad kedua diketahuinya dan/ atau penerimaan hadits tersebut sangat terbatas. Penting untuk dikemukakan bahwa hadits tersebut tidak ditemukan di dalam Muwatta Imam Malik (wafat 179) meskipun koleksi tersebut berkaitan dengan hukuman murtad. Hal ini menunjukkan bahwa hadits itu tidak begitu dikenal luas atau diterima oleh para ulama bahkan hingga pertengahan abad kedua.
Ketiga, kami menemukan bahwa banyak ahadits yang secara sederhana memuat daftar berbagai hukum, prinsip dll yang tidak asli berasal dari ahadits tersebut tetapi didasarkan pada beberapa ahadits lain dan/ atau beberapa ayat Al-Qur`anic. Hadits yang sedang kami pertanyakan ini nampaknya termasuk jenis ini. Terdapat tiga kasus di mana nyawa seorang Muslim dapat diambil. Kita tahu bahwa dua dari kasus tersebut tidak asli berasal dari hadits ini tetapi diundangkan di tempat lain. Karena membunuh orang sebagai pembalasan atas pembunuhan adalah diundangkan dalam Al-Qur`an ayat 2:178 dan 5:45 dan hukuman mati karena perzinahan juga didasarkan pada beberapa hadits lain. Kita seharusnya berfikir bahwa kasus murtad juga serupa. Artinya, seperti dalam dua kasus lainnya, hukuman mati untuk kasus ini tidak didasarkan pada hadits ini, tetapi bersandar pada beberapa Ahadits lain dan hanya yang disebutkkan di artikel sini. Jika kita bertanya di mana kasus hukuman mati kemurtadan diundangkan, maka kita akan dituntun kembali ke hadits dari ‘Ikrimah yang sudah kita lihat di atas tidak dapat dipercaya. Dengan kata lain, hadits yang dipertanyakan tersebut memerlukan dukungan perkataan Rasul Allah lainnya yang lebih otentik yang menetapkan hukuman mati bagi murtadin, tetapi perkataan Rosul seperti itu tidak ditemukan. Hal ini jelas menunjukkan kehandalan dari hadits tersebut dipertanyakan.
Daftar tersebut biasanya diciptakan oleh para ulama zaman dahulu untuk meringkas ajaran Islam pada suatu subjek untuk memudahkan penghafalan. Banyak dari fatwa ulama zaman dahulu kemudian dikaitkan dengan Nabi dan menjadi hadits. Bahwa kejadian ini adalah sebuah kemungkinan yang berbeda dalam kasus ini yang ditunjukkan oleh hadits Abu Qilabah. Membahas masalah al-qasamah di istana Abd al ‘Umar bin’-Aziz, Abu Qilabah mengatakan:
“Demi Allah, Rasul Allah tidak pernah membunuh siapapun kecuali pada salah satu dari tiga situasi:
(1) Seseorang yang membunuh orang lain secara tidak sah, dibunuh (dalam qisas)
(2) Orang yang sudah menikah yang melakukan hubungan seksual ilegal.
(3) Seorang lelaki yang berperang melawan Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan Islam”.
Perhatikan di sini bahwa Abu Qilabah tidak mengutip perkataan Rasul Allah maupun hadits yang bersanad, tetapi ia memberikan daftarnya sendiri beberapa jenis kejahatan yang, menurut pemahamannya, Nabi akan menerapkan hukuman mati. Sejak ‘Umar bin ‘Abd al -Aziz menjadi khalifah antara 99 H dan 101 H, tampak bahwa daftar kejahatan besar belum eksis sebagai hadits bahkan hingga sekitar tahun 100 H. Daftar kriminal ini menjadi hadits kira-kira setelah itu. Hal ini menjelaskan mengapa sangat sedikit perawi yang dikatakan menceritakan hadits tersebut pada tiga generasi pertama.
(D)
MURTAD LAINNYA TIDAK DIHUKUM MATI
Kita telah membicarakan kasus yang bisa dibuktikan dengan baik perihal Badui murtad yang tidak dihukum bunuh ataupun hukuman lainnya. Beberapa hadits yang kurang dapat diandalkan menyebutkan kasus-kasus murtad lainnya yang tidak dieksekusi. Kita sekarang memeriksa ahadits singkat berikut:
d1.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ مِنَّا رَجُلٌ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ قَدْ قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ وَكَانَ يَكْتُبُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ هَارِبًا حَتَّى لَحِقَ بِأَهْلِ الْكِتَابِ قَالَ فَرَفَعُوهُ قَالُوا هَذَا قَدْ كَانَ يَكْتُبُ لِمُحَمَّدٍ فَأُعْجِبُوا بِهِ فَمَا لَبِثَ أَنْ قَصَمَ اللَّهُ عُنُقَهُ فِيهِمْ فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا ثُمَّ عَادُوا فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا ثُمَّ عَادُوا فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا فَتَرَكُوهُ مَنْبُوذًا
Muhammad bin Rafi’ menceritakan kepada kami: Abu Nadr menceritakan kepada kami: Sulaiman (ibn al-Mughirah) menceritakan kepada kami dari Thabit dari Anas bin Malik yang mengatakan: Di antara kami ada seorang lelaki dari Bani al-Najjar yang telah membaca surah. al-Baqarah dan Al ‘Imran dan biadsa menulis untuk Rasulullah saw tetapi kemudian ia pergi melarikan diri dan bergabung dengan Ahli Kitab. Mereka memberikan sanjungan kepada dia sambil mengatakan, “Inilah dia orang yang biasa menulis untuk Muhammad. Dan mereka merasa senang dengan dia. Dia tidak hidup lama ketika Allah memukul lehernya di antara mereka. Mereka menggali untuk dia dan menguburkan dia. Pada pagi hari bumi melemparkan dia di atasnya. Mereka menggali lagi untuk dia dan menguburkan dia, tetapi pagi harinya bumi melemparkan dia lagi di atasnya. Mereka menggali lagi baginya dan menguburkan dia’ tetapi pagi harinya bumi melemparkan lagi di atasnya. Maka mereka meninggalkannya membuangnya. (HR Muslim 6 / 360 = 4987; Ahmad 12846 juga dari Sulaiman dengan isnad yang sama dan kata-kata yang sangat mirip)
d2.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَجُلٌ نَصْرَانِيًّا فَأَسْلَمَ وَقَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ فَكَانَ يَكْتُبُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَادَ نَصْرَانِيًّا فَكَانَ يَقُولُ مَا يَدْرِي مُحَمَّدٌ إِلَّا مَا كَتَبْتُ لَهُ فَأَمَاتَهُ اللَّهُ فَدَفَنُوهُ فَأَصْبَحَ وَقَدْ لَفَظَتْهُ الْأَرْضُ فَقَالُوا هَذَا فِعْلُ مُحَمَّدٍ وَأَصْحَابِهِ لَمَّا هَرَبَ مِنْهُمْ نَبَشُوا عَنْ صَاحِبِنَا فَأَلْقَوْهُ فَحَفَرُوا لَهُ فَأَعْمَقُوا فَأَصْبَحَ وَقَدْ لَفَظَتْهُ الْأَرْضُ فَقَالُوا هَذَا فِعْلُ مُحَمَّدٍ وَأَصْحَابِهِ نَبَشُوا عَنْ صَاحِبِنَا لَمَّا هَرَبَ مِنْهُمْ فَأَلْقَوْهُ فَحَفَرُوا لَهُ وَأَعْمَقُوا لَهُ فِي الْأَرْضِ مَا اسْتَطَاعُوا فَأَصْبَحَ وَقَدْ لَفَظَتْهُ الْأَرْضُ فَعَلِمُوا أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ النَّاسِ فَأَلْقَوْهُ
Abu Ma’mar menceritakan kepada kami: ‘Abd al-Warith menceritakan kepada kami: ‘Abd al-Aziz menceritakan kepada kami dari Anas: Ada seorang Kristen yang memeluk Islam dan membaca surah al-Baqarah dan Al ‘Imran. Ia biasa menulis untuk Nabi tetapi kemudian ia kembali ke Kristen dan mulai berkata: “Muhammad tidak tahu apa-apa selain apa yang saya tulis untuknya.” Kemudian Allah menyebabkan dia mati, dan orang-orang menguburkan dia, tetapi pagi harinya bumi telah membuang tubuhnya. Mereka berkata, “Ini adalah perbuatan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka menggali kuburan dari sahabat kami dan mengeluarkan tubuhnya dari situ karena ia telah melarikan diri dari mereka.” Mereka menggali lagi kuburan untuk dia, hingga dalam, tetapi pagi harinya bumi telah membuang tubuhnya keluar. Mereka berkata, “Ini adalah perbuatan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka menggali kuburan sahabat kami dan melemparkan tubuhnya keluar, karena ia melarikan diri dari mereka.” Mereka sekali lagi menggali kuburan untuk dia sedalam yang mereka bisa, tetapi pagi harinya bumi melemparkan keluar lagi tubuhnya. Sehingga mereka percaya bahwa apa yang menimpa dirinya tidak dilakukan oleh manusia dan kemudia meninggalkan dia (dilempar di atas tanah). (Bukhari 4/ 814 = 3348)
d3.
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَكْتُبُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ كَانَ قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ وَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ جَدَّ فِينَا يَعْنِي عَظُمَ فَكَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَامُ يُمْلِي عَلَيْهِ غَفُورًا رَحِيمًا فَيَكْتُبُ عَلِيمًا حَكِيمًا فَيَقُولُ لَهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَامُ اكْتُبْ كَذَا وَكَذَا اكْتُبْ كَيْفَ شِئْتَ وَيُمْلِي عَلَيْهِ عَلِيمًا حَكِيمًا فَيَقُولُ أَكْتُبُ سَمِيعًا بَصِيرًا فَيَقُولُ اكْتُبْ اكْتُبْ كَيْفَ شِئْتَ فَارْتَدَّ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَلَحِقَ بِالْمُشْرِكِينَ وَقَالَ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِمُحَمَّدٍ إِنْ كُنْتُ لَأَكْتُبُ مَا شِئْتُ فَمَاتَ ذَلِكَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْأَرْضَ لَمْ تَقْبَلْهُ و قَالَ أَنَسٌ فَحَدَّثَنِي أَبُو طَلْحَةَ أَنَّهُ أَتَى الْأَرْضَ الَّتِي مَاتَ فِيهَا ذَلِكَ الرَّجُلُ فَوَجَدَهُ مَنْبُوذًا فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ مَا شَأْنُ هَذَا الرَّجُلِ قَالُوا قَدْ دَفَنَّاهُ مِرَارًا فَلَمْ تَقْبَلْهُ الْأَرْضُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَجُلٌ يَكْتُبُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ وَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ يُعَدُّ فِينَا عَظِيمًا فَذَكَرَ مَعْنَى حَدِيثِ يَزِيدَ
Yazid bin Harun menceritakan kepada kami: Humaid memberitahu kami dari Anas bahwa seorang pria yang biasa menulis untuk Nabi. Dia telah membaca al-Baqarah dan Al ‘Imran. Dan orang ketika ia membaca al-Baqarah dan Al ‘Imran menjadi penting di antara kami. Tetapi ketika Nabi akan mendikte dia “ghofuuron rohiiman” dia menulis “’aliiman hakiiman”. Nabi saw mengatakan, Tulis demikian dan demikian. Tulis sebagaimana yang kamu inginkan. Dia mendikte dia, “’aliiman hakiiman” dan ia berkata, saya menulis “samii’an bashiiron”. Dia berkata: Tulis. Tulis sebagaimana yang kamu inginkan. Lalu orang ini berpaling dari Islam dan bergabung dengan mushrikun. Dan dia berkata aku mengetahui Muhammad lebih dari yang kamu tahu. Aku biasa menulis apa yang saya inginkan. Kemudian orang ini meninggal. Nabi berkata, bumi tidak akan menerima orang ini. Anas berkata, Abu Thalhah mengatakan kepada saya bahwa ia pergi ke tanah di mana orang ini meninggal dan menemukannya dibuang keluar. Maka Abu Thalhah berkata (kepada orang-orang), Apa yang terjadi dengan orang ini. Mereka berkata, Kami menguburkan dia berkali-kali, tetapi bumi tidak menerimanya. (Ahmad 11769, lihat juga Ahmad 13084)
Perawi Yazid bin Harun (wafat 206) dan Humaid (wafat 142) adalah dapat dipercaya, paling tidak sejauh bahwa mereka diterima Bukhari. Namun narasi tersebut memiliki masalah yang terlihat jelas: Nabi tampaknya bersedia membiarkan orang itu menulis apa yang ia inginkan, sesuatu yang jelas tidak mungkin dan sangat menghina Nabi.
Dalam tiga riwayat di atas orang itu jelas melakukan kemurtadan tetapi tidak ada perintah menghukum mati atau hukuman lainnya yang diberikan oleh Nabi. Dia hanya memprediksi bahwa manusia tersebut akan ditolak oleh bumi. Dalam Bukhari dan Muslim ia bahkan tidak membuat prediksi ini. Dia tidak mengatakan apa-apa tentang pria itu dan membiarkan Allah mengurus dia.
d4.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ يَزِيدَ النَّحْوِيِّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ يَكْتُبُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَزَلَّهُ الشَّيْطَانُ فَلَحِقَ بِالْكُفَّارِ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْتَلَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَاسْتَجَارَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَأَجَارَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ahmad bin Muhammad al-Marwazi menceritakan kepada kami: ‘Ali bin al-Husain bin Waqid menceritakan kepada kami dari ayahnya dari Yazid al-Nahwi dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan: ‘Abd Allah bin Abi Sarh biasa menulis untuk Rosul Allah tetapi setan membuat dia terpeleset dan ia bergabung dengan orang-orang kafir. Rasul Allah memerintahkan menghukum mato pada hari penaklukan (Mekah). Tetapi ‘Utsman bin ‘Affan memohonkan perlindungan untuk dirinya dan Rasul Allah memberikan kepadanya. (Abu Da`ud 3792, lihat juga Nasa`i 4001)
d5.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ زَعَمَ السُّدِّيُّ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ اخْتَبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَ بِهِ حَتَّى أَوْقَفَهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايِعْ عَبْدَ اللَّهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَنَظَرَ إِلَيْهِ ثَلَاثًا كُلُّ ذَلِكَ يَأْبَى فَبَايَعَهُ بَعْدَ ثَلَاثٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَمَا كَانَ فِيكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ يَقُومُ إِلَى هَذَا حَيْثُ رَآنِي كَفَفْتُ يَدِي عَنْ بَيْعَتِهِ فَيَقْتُلُهُ فَقَالُوا مَا نَدْرِي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا فِي نَفْسِكَ أَلَّا أَوْمَأْتَ إِلَيْنَا بِعَيْنِكَ قَالَ إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِنَبِيٍّ أَنْ تَكُونَ لَهُ خَائِنَةُ الْأَعْيُنِ
‘
Utsman bin Abi Shaybah menceritakan kepada kami: bin Ahmad al-Mufaddal menceritakan kepada kami : Asbat bin Nasr menceritakan kepada kami berkata: al-Suddi mengklaim (za’ama) dari Mus’ab bin Saad dari Sa’d yang mengatakan: Pada hari penaklukan kota Makkah ‘Abd Allah bin Abi Sarh menyembunyikan diri kepada ‘Utsman bin ‘Affan. Dia datang dengan dia dan menjadikan dia berdiri di hadapan Nabi dan kemudian berkata: Wahai Rosul Alla! Terimalah baiat dari ‘Abd Allah. Dia mengangkat kepalanya tiga kali, setiap kali menolak dia. Kemudian ia menerima baiatnya setelah ketiga kalinya. Dia kemudian berpaling kepada para sahabatnya dan berkata: “Apakah tidak ada di antara kamu orang yang benar-berpikiran yang akan berdiri untuk orang ini ketika aku telah menahan tanganku dari menerima baiat dan membunuhnya?” Mereka berkata: “Kami tidak tahu apa yang Anda pikirkan dalam hati anda, ya Rasul Allah! ? Mengapa Anda tidak memberi kami isyarat dengan mata Anda”. Dia berkata: “Adalah tidak layak bagi seorang Nabi untuk memperdaya dengan mata “(Abu Da` ud 3793, lihat juga Nasa `i 3999)
Apakah ‘Abd Allah bin Abi Sarh yang disebut dalam dua narasi, d4 dan d5, adalah orang yang sama dengan tiga hadits sebelumnya? Dalam mendukung identitas dari dua orang tersebut adalah bahwa kenyataannya keduanya dikatakan menulis untuk Nabi. Hal ini tidak mungkin bahwa Nabi, seorang hakim yang sangat baik karakternya, akan dua kali memilih karakter buruk seperti ini untuk menulis firman Allah. Terhadap identitas dari dua orang adalah kenyataan bahwa cerita tentang dua laki-laki ini sangat berbeda dan bahwa di hadits d4 tidak disebutkan bahwa Abd Allah bin Abi Sarh biasa menulis untuk Nabi.
Dari sudut manapun narasi tersebut tidak mendukung adanya hukuman mati untuk murtad karena alasan berikut:
a) Dalam narasi d4 Nabi memerintahkan membunuh mati ‘Abd Allah bin Abi Sarh, akan tetapi tidak jelas apakah perintah ini karena kemurtadan atau karena tindakan lain. Selain itu, perintah tersebut tidak jadi dilaksanakan, karena orang itu diberi perlindungan. Untuk hukuman yang telah ditetapkan semestinya tidak ada perlindungan seperti itu. Sikap Nabi terhadap hukuman mati yang telah ditetapkan (tidak melaksanakan ketetapan hukum) bertentangan juga dengan hadits lain bahwa ia akan memberlakukan ketetapan hukum bahkan jika putrinya Fatimah melakukan kejahatan.
b) Dalam narasi d5 Nabi tidak memerintahkan menghukum mati, namun hanya berharap bahwa seseorang akan membunuh orang tersebut. Ini bukanlah cara untuk menetapkan dan melaksanakan hukuman untuk suatu kejahatan.
c) Kedua narasi dilemahkan oleh kontradiksi yang nyata di antara mereka dan pada kenyataannya keduanya memiliki beberapa perawi yang tidak terlalu kuat.
Pada narasi d4, salah satu perawinya adalah ‘Ali yang digambarkan oleh beberapa ulama sebagai da‘if al-hadith. Perawi lainnya adalah ‘Ikrimah yang kelemahannya sudah kami bahas.
Pada narasi d5 juga terdapat dua perawinya yang telah menerima komentar negatif:
1. Ahmad bin al-Mufaddal – munkar al-hadits.
2. Al-Suddi - fi hadits hi du’f. Dan Abu Da`ud sendiri tampaknya tidak mempercayai al-Suddi. Dia menggunakan kata “mengklaim” baginya daripada “mengatakan” atau “meriwayatkan/ mengabarkan”.
‘Ikrimah Lagi
Sebagaimana telah kami catat sebelumnya, pada narasi d5 Nabi tidak memerintahkan menghukum mati ‘Abd Allah bin Abi Sarh sementara pada narasi d4 dia memerintahkan. Hal ini sangat menarik untuk dicatat, karena hadits d4 berasal dari ‘Ikrimah dari Ibnu’ Abbas. Kejadian ini tentu saja adalah Ikrimah yang sama yang juga men-transmisikan satu-satunya hadits di mana Nabi menetapkan hukuman mati bagi murtadin. Jadi sekali lagi di sini ‘Ikrimah terkait dengan adanya perintah hukuman mati karena murtadin. Adalah wajar jika kami berpikir bahwa dalam narasi sebelumnya tidak ada perintah oleh Nabi untuk menghukum mati ‘Abd Allah bin Abi Sarh. Tetapi ‘Ikrimah, yang ingin meng-atributkan hukuman mati bagi murtadin kepada Nabi, telah mengubah cerita sebelumnya dan memperkenalkan perintah kenabian untuk menghukum mati ‘Abd Allah bin Abi Sarh. Sehingga juga mungkin bahwa beberapa perawi kemudian – ‘Ali atau ayahnya – telah memperkenalkan perintah hukuman mati kepada Abd Allah dan mengatributkan hadits tersebut kepada ‘Ikrimah karena ia tahu bahwa ‘Ikrimah meriwayatkan ahadits yang menetapkan hukuman mati karena kemurtadan. Setelah memasukkan ‘Ikrimah ke isnad tersebut, maka adalah mudah untuk mengaitkan kepada Ibnu’ Abbas karena ‘Ikrimah sering mengaitkan haditsnya kepada Ibnu’ Abbas.
Lampiran
Teks Lengkap hadits dari Abu Qilabah
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْأَسَدِيُّ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ حَدَّثَنِي أَبُو رَجَاءٍ مِنْ آلِ أَبِي قِلَابَةَ حَدَّثَنِي أَبُو قِلَابَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَبْرَزَ سَرِيرَهُ يَوْمًا لِلنَّاسِ ثُمَّ أَذِنَ لَهُمْ فَدَخَلُوا فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي الْقَسَامَةِ قَالَ نَقُولُ الْقَسَامَةُ الْقَوَدُ بِهَا حَقٌّ وَقَدْ أَقَادَتْ بِهَا الْخُلَفَاءُ قَالَ لِي مَا تَقُولُ يَا أَبَا قِلَابَةَ وَنَصَبَنِي لِلنَّاسِ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَكَ رُءُوسُ الْأَجْنَادِ وَأَشْرَافُ الْعَرَبِ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ خَمْسِينَ مِنْهُمْ شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ مُحْصَنٍ بِدِمَشْقَ أَنَّهُ قَدْ زَنَى لَمْ يَرَوْهُ أَكُنْتَ تَرْجُمُهُ قَالَ لَا قُلْتُ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ خَمْسِينَ مِنْهُمْ شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ بِحِمْصَ أَنَّهُ سَرَقَ أَكُنْتَ تَقْطَعُهُ وَلَمْ يَرَوْهُ قَالَ لَا قُلْتُ فَوَاللَّهِ مَا قَتَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدًا قَطُّ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ رَجُلٌ قَتَلَ بِجَرِيرَةِ نَفْسِهِ فَقُتِلَ أَوْ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ رَجُلٌ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ الْقَوْمُ أَوَلَيْسَ قَدْ حَدَّثَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي السَّرَقِ وَسَمَرَ الْأَعْيُنَ ثُمَّ نَبَذَهُمْ فِي الشَّمْسِ فَقُلْتُ أَنَا أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثَ أَنَسٍ حَدَّثَنِي أَنَسٌ أَنَّ نَفَرًا مِنْ عُكْلٍ ثَمَانِيَةً قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَاسْتَوْخَمُوا الْأَرْضَ فَسَقِمَتْ أَجْسَامُهُمْ فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَفَلَا تَخْرُجُونَ مَعَ رَاعِينَا فِي إِبِلِهِ فَتُصِيبُونَ مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا قَالُوا بَلَى فَخَرَجُوا فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَصَحُّوا فَقَتَلُوا رَاعِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَطْرَدُوا النَّعَمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمْ فَأُدْرِكُوا فَجِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ بِهِمْ فَقُطِّعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ وَسَمَرَ أَعْيُنَهُمْ ثُمَّ نَبَذَهُمْ فِي الشَّمْسِ حَتَّى مَاتُوا قُلْتُ وَأَيُّ شَيْءٍ أَشَدُّ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ ارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ وَقَتَلُوا وَسَرَقُوا فَقَالَ عَنْبَسَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَاللَّهِ إِنْ سَمِعْتُ كَالْيَوْمِ قَطُّ فَقُلْتُ أَتَرُدُّ عَلَيَّ حَدِيثِي يَا عَنْبَسَةُ قَالَ لَا وَلَكِنْ جِئْتَ بِالْحَدِيثِ عَلَى وَجْهِهِ وَاللَّهِ لَا يَزَالُ هَذَا الْجُنْدُ بِخَيْرٍ مَا عَاشَ هَذَا الشَّيْخُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ قُلْتُ وَقَدْ كَانَ فِي هَذَا سُنَّةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهِ نَفَرٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَتَحَدَّثُوا عِنْدَهُ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَقُتِلَ فَخَرَجُوا بَعْدَهُ فَإِذَا هُمْ بِصَاحِبِهِمْ يَتَشَحَّطُ فِي الدَّمِ فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَاحِبُنَا كَانَ تَحَدَّثَ مَعَنَا فَخَرَجَ بَيْنَ أَيْدِينَا فَإِذَا نَحْنُ بِهِ يَتَشَحَّطُ فِي الدَّمِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بِمَنْ تَظُنُّونَ أَوْ مَنْ تَرَوْنَ قَتَلَهُ قَالُوا نَرَى أَنَّ الْيَهُودَ قَتَلَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى الْيَهُودِ فَدَعَاهُمْ فَقَالَ آنْتُمْ قَتَلْتُمْ هَذَا قَالُوا لَا قَالَ أَتَرْضَوْنَ نَفَلَ خَمْسِينَ مِنْ الْيَهُودِ مَا قَتَلُوهُ فَقَالُوا مَا يُبَالُونَ أَنْ يَقْتُلُونَا أَجْمَعِينَ ثُمَّ يَنْتَفِلُونَ قَالَ أَفَتَسْتَحِقُّونَ الدِّيَةَ بِأَيْمَانِ خَمْسِينَ مِنْكُمْ قَالُوا مَا كُنَّا لِنَحْلِفَ فَوَدَاهُ مِنْ عِنْدِهِ قُلْتُ وَقَدْ كَانَتْ هُذَيْلٌ خَلَعُوا خَلِيعًا لَهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَطَرَقَ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ الْيَمَنِ بِالْبَطْحَاءِ فَانْتَبَهَ لَهُ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَحَذَفَهُ بِالسَّيْفِ فَقَتَلَهُ فَجَاءَتْ هُذَيْلٌ فَأَخَذُوا الْيَمَانِيَّ فَرَفَعُوهُ إِلَى عُمَرَ بِالْمَوْسِمِ وَقَالُوا قَتَلَ صَاحِبَنَا فَقَالَ إِنَّهُمْ قَدْ خَلَعُوهُ فَقَالَ يُقْسِمُ خَمْسُونَ مِنْ هُذَيْلٍ مَا خَلَعُوهُ قَالَ فَأَقْسَمَ مِنْهُمْ تِسْعَةٌ وَأَرْبَعُونَ رَجُلًا وَقَدِمَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مِنْ الشَّأْمِ فَسَأَلُوهُ أَنْ يُقْسِمَ فَافْتَدَى يَمِينَهُ مِنْهُمْ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَأَدْخَلُوا مَكَانَهُ رَجُلًا آخَرَ فَدَفَعَهُ إِلَى أَخِي الْمَقْتُولِ فَقُرِنَتْ يَدُهُ بِيَدِهِ قَالُوا فَانْطَلَقَا وَالْخَمْسُونَ الَّذِينَ أَقْسَمُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِنَخْلَةَ أَخَذَتْهُمْ السَّمَاءُ فَدَخَلُوا فِي غَارٍ فِي الْجَبَلِ فَانْهَجَمَ الْغَارُ عَلَى الْخَمْسِينَ الَّذِينَ أَقْسَمُوا فَمَاتُوا جَمِيعًا وَأَفْلَتَ الْقَرِينَانِ وَاتَّبَعَهُمَا حَجَرٌ فَكَسَرَ رِجْلَ أَخِي الْمَقْتُولِ فَعَاشَ حَوْلًا ثُمَّ مَاتَ قُلْتُ وَقَدْ كَانَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ أَقَادَ رَجُلًا بِالْقَسَامَةِ ثُمَّ نَدِمَ بَعْدَ مَا صَنَعَ فَأَمَرَ بِالْخَمْسِينَ الَّذِينَ أَقْسَمُوا فَمُحُوا مِنْ الدِّيوَانِ وَسَيَّرَهُمْ إِلَى الشَّأْمِ
Qutaybah bin Sa’id mengabarkan kepada kami: Abu Bishr Ismail bin Ibrahim al-Asadi yang mengabarkan kepada kami: al-Hajjaj bin Abi ‘Utsman yang mengabarkan kepada kami: Abu Raja dari keluarga Abu Qilabah yang mengabarkan kepada saya:
Suatu ketika ‘Umar bin- Abd al ‘Aziz duduk di atas takhta-nya karena orang-orang. Ketika ia menerima mereka, mereka lalu masuk. Dia berkata, “Apa pendapat kamu semua tentang al-qasamah?”. Mereka berkata, “Kami mengatakan bahwa itu adalah halal tergantung kepada al-qasamah (dalam qisas), sebagaimana khulafa’ (sebelumnya) bergantung pada hal itu”. Lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abu Qilabah! Apa yang akan kamu katakan tentang hal ini?”. Dia membiarkan aku muncul dihadapan orang-orang dan saya berkata, “Wahai Amir Al-Mukminin, Anda memiliki kepala staff tentara dan kemuliaan Arab. Jika lima puluh dari mereka bersaksi bahwa seorang pria yang sudah menikah telah melakukan hubungan seksual ilegal di Damaskus tetapi mereka tidak melihatnya (berbuat demikian), apakah Anda akan melempari batu kepadanya?”. Dia berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Jika lima puluh dari mereka bersaksi bahwa seseorang telah melakukan pencurian di Hums, apkah Anda akan memotong (tangannya) meskipun mereka tidak melihat dia?” Dia menjawab, “Tidak” Aku berkata, “Demi Allah, Rasul Allah tidak pernah membunuh siapa pun kecuali dalam salah satu dari tiga situasi:
(1) Orang yang membunuh seseorang secara tidak adil, dibunuh (dalam qisas)
(2) Orang yang sudah menikah yang melakukan hubungan seksual ilegal.
(3) Seorang lelaki yang berperang melawan Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan Islam”.
Kemudian beberapa orang berkata, “Bukankah Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasul Allah memotong (tangan dari beberapa orang) karena pencurian, menandai mata mereka dan kemudian, melemparkan mereka di bawah sinar matahari?” Aku berkata, “Aku meriwayatkan kepada Anda hadits dari Anas. Anas meriwayatkan kepada saya bahwa delapan orang dari suku ‘Ukl datang kepada Rasul Allah dan memberikan janji setia karena Islam. Iklim tempat itu (Madinah) tidak sesuai bagi mereka, sehingga mereka menjadi sakit dan mengeluh tentang hal itu kepada Rasul Allah. Ia berkata (kepada mereka), “Bukankah kamu akan pergi keluar dengan gembala dari unta kami dan meminum susu dan kencing unta (sebagai obat)?”. Mereka berkata, “Ya”. Maka mereka pergi keluar dan meminum susu dan urin unta, dan setelah mereka menjadi sehat, mereka membunuh gembala Rasul Allah dan mengambil seluruh unta tersebut. Berita ini mencapai Rasul Allah, karena itu ia mengirim (orang-orang) untuk mengikuti jejak mereka dan mereka ditangkap dan dibawa (kepada Nabi). Dia kemudian memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, dan mata mereka ditandai (dengan potongan-potongan besi yang dipanaskan), dan kemudian ia melemparkan mereka di bawah sinar matahari sampai mereka meninggal”. Aku berkata, “Apa yang lebih buruk dari apa yang orang-orang itu lakukan?. Mereka meninggalkan Islam, melakukan pembunuhan dan pencurian.?”
Kemudian ‘Anbasah bin Sa’id berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar (riwayat ini) selain hari ini.” Aku berkata, “Wahai ‘Anbasah apakah kamu menyangkal narasi saya?” Dia berkata, “Tidak, tetapi kamu telah meriwayatkan narasi tersebut dengan jalan yang semestinya diriwayatkan Demi Allah, orang-orang ini akan tetap tinggal dalam kondisi yang baik selama Syaikh ini (Abu Qilabah) ada di antara mereka.” Saya menambahkan, “Memang dalam kejadian ini telah ada sebuah hadits yang dibuat oleh Rasul Allah. Perawi tersebut menambahkan: Beberapa orang Ansor datang kepada Nabi dan membahas beberapa permasalahan dengan beliau, seorang dari antara mereka pergi keluar dan dibunuh Orang-orang itu pergi keluar setelah dia, dan melihat, sahabat mereka telah berenang dalam darah. Mereka kembali kepada Rasul Allah dan berkata kepadanya, “Wahai Rosul Allah, kami telah menemukan sahabat kami yang telah berbicara dengan kami dan pergi keluar sebelum kami, berenang dalam darah.” Rasul Allah pergi keluar dan bertanya kepada mereka, “Siapa yang kamu curigai atau yang menurut kamu telah membunuh dia?” Mereka berkata, “Kami berpikir bahwa orang Yahudi telah membunuh dia.” Nabi memanggil orang-orang Yahudi dan bertanya kepada mereka, “Apakah kamu membunuh (orang) ini ?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Dia bertanya kepada al-Ansar, “Apakah kamu setuju bahwa saya menyuruh lima puluh orang Yahudi mengambil sumpah bahwa mereka tidak membunuh dia”. Mereka berkata, “Ini hal kecil bagi orang Yahudi untuk membunuh kami semua dan kemudian melakukan sumpah palsu”. Dia berkata, “Kalau begitu apakah kamu ingin menerima diyah (uang tebusan darah) setelah lima puluh dari antara kamu telah bersumpah (bahwa Yahudi telah membunuh orang kamu)?”. Mereka berkata, “Kami tidak akan melakukan sumpah tersebut“. Kemudian Nabi sendiri membayar mereka diyah tersebut”.
Perawi tersebut menambahkan, “Suku Hudhayl menolak salah satu dari lelaki mereka (karena tindakan jahat dia) pada zaman jahiliah. Lalu,. (di suatu tempat bernama) al-Batha’, orang itu menyerang sebuah keluarga Yaman pada malam hari untuk mencuri dari mereka, tetapi seorang lelaki dari keluarga tersebut melihat dia dan memukul dia dengan pedangnya dan membunuhnya. Suku Hudhayl datang dan menangkap orang Yaman tersebut dan membawanya kepada ‘Umar selama musim (haji) dan berkata, “Dia telah membunuh sahabat kami. “orang Yaman tersebut berkata, “Tetapi orang-orang ini telah menolak dia”. ‘Umar berkata, “Silahkan lima puluh orang Hudhayl bersumpah bahwa mereka tidak menolak dia”. Lalu empat puluh sembilan dari mereka mengambil sumpah dan kemudian satu orang milik mereka, datang dari Syam dan mereka meminta dia untuk bersumpah, tetapi dia membayar seribu dirham sebagai ganti mengambil sumpah. Mereka memanggil lelaki lain sebagai ganti dia dan orang ini pergi ke saudara lelaki yang dibunuh dan berjabat tangan dengan dia. Beberapa orang mengatakan, “Kami dan lima puluh orang yang telah mengambil sumpah (palsu) memulai perjalanan, dan ketika mereka sampai (suatu tempat yang bernama) Nakhlah, hari mulai hujan. Jadi mereka masuk ke sebuah gua di gunung tersebut, dan gua tersebut runtuh pada lima puluh orang yang mengambil sumpah, dan mereka semua mati kecuali dua orang yang telah berjabat tangan satu sama lain. Tetapi sebuat batu jatuh di kaki dari saudara orang yang sudah meninggal tersebut dan meremukannya, lalu ia bertahan selama satu tahun dan kemudian meninggal”. Saya selanjutnya berkata, “Abd al-Malik bin Marwan menghukum mati seorang lelaki atas dasar al-qasamah, tetapi kemudian ia menyesali keputusan itu dan memerintahkan bahwa nama-nama dari lima puluh orang yang telah mengambil sumpah, dihapus dari daftar, dan dia mengasingkan mereka di Syam”. (Bukhari 9 / 37 = 6390).
Sumber :
https://muslimsaja.wordpress.com/2011/05/23/adakah-hukuman-mati-bagi-orang-yg-murtad/
ADAKAH HUKUMAN MATI BAGI ORANG YG MURTAD ?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar