Oleh: Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok
Anggota Al-Hikmah Reseach Center, Forum Studi Islam, FISIP UI
Al Quran surat An Nisa’ (surat keempat) ayat tiga tidak
menjelaskan tentang kebolehan suami mengumbar nafsu kepada banyak istri
dan kedzaliman kepada seorang istri, tapi tentang perlindungan terhadap
gadis-gadis yatim piatu.
Ayat ketiga Surat An Nisa diterjemahkan
sebagai berikut, “Dan, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau miliki. Yang demikian
itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Di dalam ayat tersebut
sudah ada penekanan di awal pada ‘perempuan yatim’ yang perlu kita bahas
mendalam.
Ayat ini turun di saat Madinah kehilangan banyak laki-laki. Banyak
sekali ayah yang meninggal setelah perang Uhud. Pada saat itu keluarga
yang tidak punya ayah dan relasi dengan garis patrilinear lain, seperti
paman atau kakek tidak akan bertahan dan kemungkinan besar akan berada
dalam garis kemiskinan. Nabi sendiri termasuk pihak yang merasakan
kondisi ini. Selama masih kecil beliau tidak punya ayah yang membuatnya
sulit mendapatkan ibu susu, karena semua orang Arab Badui tahu, seorang
yatim tidak akan menguntungkan untuk disusui, karena sang ibu tidak
dapat memberikan harta yang banyak. Saat itu tidak lazim perempuan
bekerja, dan harta dari perempuan (atau sang ibu) tidak berkembang
banyak seperti harta suami.
Di sisi lain banyak gadis yatim yang
punya warisan harta dari ayahnya yang meninggal pada perang Uhud di
Madinah. Saat itu juga populasi laki-laki secara drastis menurun. Sebuah
kota-pedesaan di padang pasir tidak bisa disamakan dengan kota modern
di zaman sekarang. Apabila Madinah kalah perang, dan korban perang
tersebut banyak, otomatis jumlah pemelihara perempuan, baik itu ayah
atau suami menjadi sedikit. Inilah salah satu alasan pembolehan
poligami, untuk menyediakan pelindung dan pemelihara kepada gadis yatim
yang saat itu tidak punya ayah dan sulit mendapatkan suami, mengingat
jumlah laki-laki menurun.
Ada juga kecenderungan laki-laki Arab
saat itu untuk tidak menghargai perempuan. Beberapa praktik yang umum
saat itu adalah seorang laki-laki dapat punya banyak istri selama dia
mampu merawat mereka. Praktik ini dilakukan oleh Sailan bin Umayyah, dan
Rasulullah bersabda kepadanya yang saat itu memiliki sepuluh istri,
“Pilihlah dari mereka empat orang (istri) dan ceraikan selebihnya” (HR
Imam Malik, An-Nasa’i, dan Ad-Daraquthni).
Kecenderungan lainnya
adalah tidak adanya pemberian suami kepada istri yang benar-benar
menjadi milik pribadi istri. Saat itu praktik pernikahan seperti praktik
perdagangan perempuan di era modern. Seorang laki-laki yang ingin
menikahi seorang perempuan membayar ‘mahar’ bukan kepada sang istri,
tetapi kepada wali (ayah, saudara laki-laki, paman, kakek, atau keluarga
dari garis patriarkal dari sang calon istri).
Bayangkan, Anda
seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang gadis, Anda tidak perlu
mendekati gadis tersebut. Anda tinggal mendekati orangtuanya dan
‘menawarkan’ mahar yang cukup. Apa bedanya dengan perdagangan perempuan?
Perempuan seperti dijual, dan pernikahan tidak berdasarkan keinginan
merawat dan mencintai gadis tersebut, tetapi berdasarkan pada keinginan
untuk memiliki gadis tersebut selayaknya properti.
Kemudian turun
ayat keempat dari surat An Nisa’ sebagai lanjutan dari ayat tiga yang
artinya, “Dan, berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, maka terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Ayat ketiga dan
keempat ini saling mendukung. Ayat keempat menjelaskan secara tegas
makna dari mahar, yaitu ‘pemberian yang penuh kerelaan’ yang artinya
seorang laki-laki harus memberikan sebagian hartanya sebagai simbol dari
kemampuan dan komitmennya memelihara dan mencintai perempuan tersebut
secara materi. Sang calon suami harus benar-benar rela memberikan mahar
tersebut. Ayat ini juga menghapus praktik ‘perdagangan perempuan’
terselubung dalam praktik bangsa Arab saat itu. Semenjak ayat ini turun,
muslim laki-laki tidak pernah lagi memberikan mahar kepada wali dari
calon istri, tetapi langsung kepada sang calon istri.
Bangsa Arab
saat itu begitu barbar, jahiliah, dan biadab, dan untuk itulah risalah
turun di sana. Jangan bayangkan di zaman Nabi orang Arab begitu
terhormat seperti orang Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan suku lain di
Indonesia yang sudah mengembangkan etika dalam menikah. Hal ini
diperparah pada para gadis yang sudah tidak punya wali akibat perang
Uhud. Harta ayah mereka tidak dapat diwariskan secara penuh kepada
mereka, dan mereka sendiri tidak dapat mengolahnya secara maksimal.
Wanita yang mampu mengelola harta seperti Khadijah sangat jarang di
Madinah saat itu.
Ada tren yang muncul setelah perang Uhud, banyak
relasi dari sang ayah yang kemudian dipercayakan mengelola harta dari
gadis-gadis yatim tersebut. Mereka tidak punya hubungan darah dengan
sang gadis, dan apa yang terjadi kemudian, mereka berniat menikahi gadis
tersebut tidak hanya untuk menambah istri, tetapi juga mendapatkan
warisan dari harta ayahnya. Pemikiran materialistik seperti inilah yang
menjadi tren saat itu, dan jelas pemikiran ini tidak akan mampu
mensejahterakan gadis-gadis yatim tersebut.
Salah satu inti dari
ayat ketiga ini justru terletak pada perlindungan dan sindiran akan
praktik jahiliyah yang buruk di Arab, termasuk Madinah. “Dan, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang
kamu sukai: dua, tiga, atau empat.” adalah bentuk perlindungan dan
pengalihan perhatian dari laki-laki hidung belang dan materialistik
untuk tidak menikahi perempuan yatim lagi. Mereka disindir dan dijauhkan
dari praktik menikahi perawan kaya yang tidak punya wali tanpa harus
memberikan mahar sepeserpun kepadanya.
Inti lainnya adalah juga
tentang sindiran, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kau
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Setelah Allah dalam firman-Nya menjauhkan laki-laki dari berpikir
materialistik, Allah kemudian mengajak mereka mencintai satu orang istri
saja. Allah tidak menganjurkan, “Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu
berlaku adil, maka nikahilah tiga istri, karena tiga istri lebih mudah
diurus ketimbang empat istri, atau jika terlalu banyak, nikahilah dua
istri, karena lebih mudah diurus ketimbang tiga istri”. Tidak ada tawar
menawar dalam hal ini, Allah langsung menunjuk “nikahilah seorang saja”.
Sindiran
ini dipahami seolah sebagai sebuah anjuran, bahkan perintah untuk
berpoligami. Bagi seseorang yang sudah mempelajari fiqih, ayat ini tidak
berada dalam level mengharamkan sekaligus mewajibkan atau mensunnahkan.
Ayat ini adalah ayat persyaratan. Ada banyak praktik ibadah dalam Islam
yang membutuhkan persyaratan, yang dikenal sebagai ‘syarat sah’. Contoh
dari ketentuan syarat sah dalam al-Quran ada pada Surat Al-Maidah (5)
ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Ada
juga dalam ketentuan fiqih tentang adanya syarat sah seperti pada ayat
thaharah atau membersihkan diri pada surat kelima, Al Maidah ayat 6
tersebut. Syarat sah ini menjadi wajib, apabila seorang muslim ingin
melakukan sesuatu dan apabila tidak dilakukan, yang terjadi adalah
praktik tersebut batal atau tidak diizinkan atau tidak diridhai oleh
Allah. Apabila syarat thaharah ini tidak terlaksana, otomatis sholat
seorang muslim akan batal dan tidak diterima Allah.
Begitu juga
dalam poligami, surat An Nisa’ ayat ketiga dan keempat menunjukkan
tentang syarat sah pernikahan, yang apabila kita urutkan dan daftarkan
akan menjadi beberapa poin berikut:
- Pernikahan terhadap gadis yatim untuk mendapatkannya sebagai istri sekaligus mendapatkan hartanya harus berdasarkan pada keadilan. Jika seorang laki-laki terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, belum melakukan ketidakadilan dalam mengelola hartanya dan cenderung memeras sang gadis yatim, praktik poligami sudah tidak sah.
- Pernikahan poligami harus berdasarkan pada keadilan. Jika seseorang terbesit rasa khawatir, baru terbesit rasa khawatir saja, bukan sudah melakukan ketidakadilan, maka praktik poligami sudah tidak sah.
- Tujuan dari segala pernikahan (juga kepada praktik Islam yang berhubungan dengan orang lain, seperti berdagang atau berpolitik) adalah untuk mencegah akan kezaliman. Jika sampai ada kezaliman dalam pernikahan poligami, maka akan datang dosa darinya.
- Mahar atau maskawin dalam pernikahan harus ada, atau pernikahan tersebut tidak sah, termasuk dalam pernikahan kepada gadis yang kaya dan dalam praktik poligami.
- Mahar menjadi milik istri, tidak boleh diminta kembali (pemberian yang penuh kerelaan). Halalnya mahar adalah saat istri memberikannya secara senang hati kepada suami (tidak hanya dengan terpaksa atau sekadar rela, tetapi juga dengan senang hati).
Poligami adalah salah satu
praktik muamalah, atau praktik yang berhubungan tidak dengan Allah
secara langsung, melainkan kepada manusia secara terlebih dahulu.
Praktik muamalah harus menghindari kezaliman dari salah satu pihak
kepada pihak lain. Zalim sendiri adalah pelanggaran hak atas diri
sendiri maupun orang lain. Kezaliman hanya berdasarkan pada satu hal,
yaitu mengikuti hawa nafsu yang tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya.
Tentu
saja, tulisan ini hanya salah satu pendapat dalam poligami. Ada juga
alasan lain yang dikemukakan beberapa laki-laki untuk membenarkan
praktik poligami yang dilaksanakannya. Satu hal yang perlu diingat,
kebanyakan istri Nabi yang beliau madu adalah janda (kecuali Aisyah
binti Abu Bakar), seperti Saudah binti Zam’a, Hafsah binti Umar bin
Khattab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah,
Zainab binti Jahsyi bin Royab, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah
Ramlah binti Abu Sufyan, Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob, Maimunah
binti Al- Harits, dan Mariah Al-Qibthiyah.
Dengan mengetahui
berbagai syarat sah dari Al Quran tentang poligami, selayaknya kita
tidak mengecam atau menganggap buruk orang yang menolak poligami. Seolah
muslim atau muslimah yang menolak poligami adalah menolak ketentuan
Allah. Hal ini malah sesuai dengan semangat Al Quran selama mereka
mengemukakan argumen yang tepat bahwa poligami itu zalim dan tidak adil.
Umat Islam tidak selayaknya berpikiran sempit dan memusuhi satu sama
lain hanya karena perbedaan pendapat mengenai praktik yang memang penuh
syarat ini.
Begitu juga sebaliknya, apabila seorang memang berniat
baik dan punya argumentasi dan fakta yang kuat akan praktik poligaminya
untuk menolong perempuan lain, sebaiknya kita tidak merusak hubungan
rumah tangga mereka. Tentu saja praktik ini tidak dilakukan oleh pejabat
yang menikahi gadis untuk kemudian diceraikan kembali secara tidak
bertanggungjawab.
Saya ingin menutup perdebatan ini dengan ajakan
untuk mengikuti hati nurani, bukan hawa nafsu. Orang bisa saja
mengungkapkan alasan berpoligami yang valid, tetapi tidak ada yang tahu
apakah orang tersebut berniat mengikuti hawa nafsu yang zalim atau hati
nuraninya dalam menolong perempuan yang dijadikan istri kedua, ketiga,
atau keempat. “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran)
mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al Mu’minuun,
23: 71).
Referensi:
- Syaamil Al Quran terbitan PT Syaamil Cipta Media yang berdasarkan pada Al-Quran dan Terjemahannya edisi Departemen Agama tahun 2002, terbit pada 2004. Bandung: PT Syaamil Cipta Media
- Wawasan Al Quran: Pernikahan, Poligami dan Monogami, Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Isnet. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah2.html, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
- Ayat Al Quran dan Hadist tentang Thaharah (Bersuci), anonim, Jurnal Darussalam Perumnas Unib. http://darussalambengkulu.wordpress.com/2012/03/29/ayat-al-quran-dan-hadist-tentang-thaharah-bersuci/, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.00
- Ayat Al Quran tentang Larangan Mengikuti Hawa Nafsu, Abu Umar, abuumar.multiply.com, http://abuumar.multiply.com/journal/item/86?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses pada Jumat, 14 Desember 2012 pukul 07.17.
- Hak Hak Perempuan Dalam Islam
- Hak dan Kewajiban Belajar Wanita dalam Islam
- Hukum Menggugurkan Janin Akibat Perkosaan
- Jenifer sebelumnya tidak membayangkan kalau Akhirnya menjadi seorang Muslimah
- Kedudukan Perempuan dalam Islam
3 komentar:
1.Inti masalahnya adalah " Boleh tidak kawin lebih dari satu jika istri pertama masih ada? kalo di umat sebelah Tuhan mereka dengan jelas dan tegas mengatakan "Tidak Boleh " tapi di islam aulloh mengatakan "Boleh dengan catatan" bla.. bla.. bla..
Tuhan mana yang Tegas disini Tuhan sebelah atau aulloh ???
2. Lihat Dampak yang ditimbulkan oleh poligami ini, walaupun mereka berkata"Berniat baik dan Adil" apa akibat yang ditimbulkannya ??? orang yang kawin lebih dari satu cenderung menjadi tidak setia, Pembohong, Pencuri, dan Penipu karena
dampak yang mana yg anda maksudkan @Ungke?
Sudahkah anda lihat secara adil?
Kecenderungan untuk tidak jujur justru lebih besar kemungkinannya yg tidak melalui prosedur pernikahan alias sembunyi-sembunyi.
Sedangkan poligami adalah suatu solusi yg didalamnya ada syarat2 yg harus dipenuhi dan bersifat sah/syar'i.
Secara biologis ataupun lain hal orang butuh, tapi demi status dan pandangan masyarakat boleh jadi seseorang condong menutupi.
Anda banyak lihat sendiri kasus2 pernikahan siri (dibawah tangan) atau kumpul kebo.
Hingga saat ini tidak ada pandangan yg adil terhadap masalah poligami ini. Yg ada condong memojokan syariat Islam dengan pengetahuan yg dangkal.
Poligami tidak lebih suatu solusi bukan juga nilai plus apalagi suatu keharusan justru punya syarat yg berat.
Aha, ttg poligami...
ga' punya ilmu ttg ini, tp mo kasih komen ah...
di indonesia poligami dpt dilasanakan jk memenuhi salah satu dr 3 alasan yg ada, pertama isteri tdk dpt menjalankan kewajibannya, kedua isteri mendapat cacat badan atau penyakit yg tdk dpt disembuhkan, ketiga isteri tdk dpt melahirkan keturunan. Trus, musti memberi jaminan kpd pengadilan ttg keperluan dan berlaku adil terhadap isteri dan anak.
Itu dinegara kita, apa hasil adobsi hukum islam? Hmm terkadang walau negara menjamin pemeluk menjalankan agama dan kepercayaan ga' semua dpt terakomodir. Contoh hukum hudud yg tdk diaplikasi negara tuk orang islam, qishash, dera, cambuk, kurungan, pukul, harta perkawinan.
kembali ke poligami, qur'an hanya mensyariatkan 2 dasar tuk berpoligami, sisanya diserahkan kpd para pemimpin dgn catatan hukum yg terendah (pemimpin) tdk boleh bertentangan dgn hukum tertinggi (tuhan). 2 aturan dasar itu hanya mengenai umur pernikahan dan keadilan.
Ttg umur pernikahan, tdk ada poligami ketika menikahi wanita yg cukup nikah tp belum matang mental. Mungkin ini umur 30 th. Intinya, ketika kita melakukan pernikahan dgn wanita pd usianya 21 th, maka hingga ia genap 30 th barulah terbuka perizinan tuk berpoligami. Karena diumur segitu (30 th) ia akan mapan mental menjaga anak ketika ditinggal suami yg tinggal dirumah isteri lain. Tapsir saya terhadap qs. 4-3.
Ttg adil, tindakan itu mutlak hanya milik tuhan. Jd adilnya manusia cukup hanya jgn terlalu condong kpd salah satu pihak hingga mengabaikan pihak lain. Qs. 4-129.
Ttg pemimpin, mengawasi pemberlakuan itu, contoh mencegah penipuan pd jaminan berbuat adil dgn memasukkan hukuman pembatalan perkawinan sebagai ancaman hukumnya.
Posting Komentar