Oleh :
Dr. M. Quraish Shihab

Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai
ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam
sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada
hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian)
dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan
hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan
kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki
oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang
Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para
pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum
perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat
71:
Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah
awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran
tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan
dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah
yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama,
bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung
oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi
kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat
(kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan
masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan
memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang
kehidupan.
1)
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam
kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana
tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari
kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
Barangsiapa yang tidak
memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia
tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi
yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar
belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan
demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan
termasuk bidang kehidupan politik
2)
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada
mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu)
diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk
membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan
perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip
pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut
Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap
warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk
senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki
maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak
ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami
sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang
kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik.
Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum
perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan,
tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada
zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi
dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah
Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para
perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk
menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan
untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang
berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka
sendiri
3)
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan
firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34,
Lelaki-lelaki adalah pemimpin
perempuan-perempuan...
sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata
mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga
hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan
mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan
ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan
dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang
disebutkan itu.
Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan
lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya
dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun
tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk
dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya
walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara
kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.
Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad
saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang
musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang
politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni
Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn
Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara.
Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi
setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama
Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan
itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu
menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam
politik praktis sekalipun.
Hak-hak Perempuan dalam Memilih
Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam
pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam
berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara
mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah
maupun swasta, selama
pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula
menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak
untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan
atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan
pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka
terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu
Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam
Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan
di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan
lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif
pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja
sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan
yang merias, antara lain, Shafiyah bin
Huyay
4)--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat
atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang
sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada
Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.
Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut
diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila Anda akan membeli
atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda
inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian
Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan
sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja
sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu
beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya
ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
ini.
5)Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan
oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar
kota Madinah.
6)
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada
masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di
samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi
bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan
kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan
mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam
hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik "permainan"
seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim
dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal
di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan
lelaki."
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun,
sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya
menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa
pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu
membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap
terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai
hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi.
Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak
dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara
(Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan
masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya
kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar
pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela
dan penuntut dalam berbagai
bidang.
7)
Bersambung
Baca Tulisan Lanjutannya : Hak Dan Kewajiban Belajar Perempuan dalam Islam
Baca Tulisan Sebelumnya : Kedudukan Perempuan Dalam Islam
Catatan Kaki
1) Amin Al-Khuli,
Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam
Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad,
t.t., h. 13.
2) Ibid
3) Jamaluddin
Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama'
Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h.
60
4) Ibrahim bin Ali
Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar,
Kairo, Dar Al-Syuruq 1979, h. 76.
5) Lihat biografi
para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat,
karya Ibnu Hajar, jilid IV.
6) Muhammad
Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
7) Jamaluddin
Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
Sumber : Membumikan Al Qur'an